Jika kerusakan ekosistem pesisir terus dibiarkan, maka yang paling terdampak adalah mereka yang tinggal paling dekat dengannya, masyarakat pesisir. Inilah yang menjadi fokus dalam pemaparan yang dibawakan Andi Fachrizal, Direktur Kolase.id, yang menyampaikan kabar dari pesisir Kalimantan Barat.
Ia menggambarkan bagaimana masyarakat nelayan di kawasan ini menghadapi tekanan ganda. Di satu sisi perubahan iklim membawa cuaca ekstrem dan hasil tangkapan yang tak menentu. Di sisi lain kebijakan dan tata niaga laut yang timpang membuat mereka kesulitan keluar dari lingkar kemiskinan.
Pria yang akrab disapa Rizal Daeng ini juga menunjukkan bagaimana praktik merusak seperti penebangan mangrove secara sporadis yang masih marak seperti terjadi di Batu Ampar.
Begitu pula dengan konflik tenurial terkait fungsi kawasan yang terbilang tinggi, dan persepsi masyarakat tentang konservasi yang dianggap hanya ditujukan bagi hewan dan tumbuhan semata. Hal ini diperkuat dengan keterbatasan kapasitas masyarakat pesisir untuk mengembangkan perekonomiannya.
“Tanpa pendampingan dan pemahaman regulasi yang memadai, masyarakat pesisir bisa menjadi korban sekaligus ‘tersangka’ kerusakan lingkungan. Padahal mereka sejatinya adalah penjaga garis depan ekosistem,” ujarnya.
Di balik berbagai persoalan di wilayah pesisir, hutan mangrove muncul sebagai titik terang. Rio Ahmad, Direktur Yayasan Hutan Biru, memaparkan bagaimana pendekatan rehabilitasi mangrove secara ekologis (Ecological Mangrove Rehabilitation/EMR) bisa menjadi solusi nyata menghadapi perubahan iklim.
Ia menekankan bahwa restorasi mangrove bukan sekadar menanam ulang, tetapi memahami lanskap, pola pasang surut, hingga dinamika sosial masyarakat lokal.
Rehabilitasi yang dilakukan oleh Yayasan Hutan Biru menempatkan masyarakat sebagai aktor utama. Program mereka tak hanya menanam pohon, tetapi juga membangun kapasitas perempuan, nelayan miskin, dan komunitas rentan lainnya agar mampu mengelola sumber daya secara adil dan berkelanjutan.
“Hutan mangrove bukan hanya tembok alami dari badai dan kenaikan air laut. Ia adalah ruang hidup, dapur pangan, dan pusat pembelajaran,” kata Rio.
Melalui pendekatan enam tahap EMR, mereka memastikan bahwa rehabilitasi berlangsung dengan monitoring ketat, koreksi di tengah jalan, dan hasil yang bisa diukur secara ekologis maupun sosial.
Darurat iklim di pesisir adalah kenyataan hari ini, bukan ancaman esok. Namun, harapan tetap ada, melalui riset yang kuat, aksi komunitas, dan kebijakan yang berpihak.
Pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil ibarat panggung orkestra yang butuh kerja sama banyak pihak untuk menciptakan harmoni. Dari pemetaan ilmiah hingga gerakan akar rumput, semua harus bergerak bersama.
Krisis iklim menuntut respons nyata, bahwa menyelamatkan pesisir bukan sebuah pilihan, tetapi keharusan yang melibatkan banyak tangan dan tak bisa menunggu hari esok.*