Lahirnya kopi panas bumi
Bersama PGE, Deden melakukan riset intensif untuk menemukan teknik fermentasi yang paling sesuai dengan karakteristik panas bumi yang digunakan dalam proses pengolahan kopi. “Saya melakukan riset fermentasi selama hampir setahun. Dari lebih dari 20 jenis proses yang dicoba, akhirnya kami menemukan tiga metode yang paling sesuai dengan karakter pengeringan,” ungkapnya.
Setelah riset tersebut, Deden mulai memulai produksi dengan mengolah biji Arabika yang berasal dari tanaman yang tumbuh di dataran tinggi Kamojang, pada ketinggian sekitar 1.500 meter di atas permukaan laut.
Deden kemudian mengajak para pelaku usaha kopi di Kamojang untuk membangun ekosistem bisnis yang lebih efisien melalui pemanfaatan teknologi ‘Geothermal Dry House’. Teknologi ini tidak lagi mengandalkan sinar matahari yang kini semakin sulit diprediksi akibat perubahan iklim global. Sebagai gantinya, ‘Geothermal Dry House’ memanfaatkan aliran steam trap dari uap panas bumi PGE Kamojang yang dialirkan melalui pipa. Ini memungkinkan pengaturan suhu ruangan secara stabil dan terkontrol untuk proses pengeringan kopi yang lebih efisien, higienis, dan berkualitas.
Dari sisi potensi bisnis, teknologi ini memiliki keunggulan dengan efisiensi waktu pengeringan yang jauh lebih singkat, sehingga berdampak langsung pada penghematan biaya operasional. Efisiensinya bahkan bisa mencapai 300%, karena proses pengeringan berlangsung tiga kali lebih cepat—artinya, dengan waktu dan biaya yang sama, produksi bisa meningkat hingga tiga kali lipat.
“Hal ini juga meminimalkan risiko kontaminasi bakteri dari luar. Dengan begitu, bakteri yang berpengaruh terhadap proses hanya berasal dari fermentasi sebelum pengeringan. Dari sisi cita rasa, hasil akhirnya jadi lebih fruity, aromanya lebih kuat, dan teksturnya pun terasa lebih lembut dibandingkan kopi yang diproses secara konvensional,” jelasnya.
Kini, Deden mengelola Geothermal Coffee Process (GCP) sebagai Managing Director, di mana Ia berkolaborasi dengan PGE untuk merangkul para petani kopi di kawasan Kamojang. GCP bergerak di bidang pengolahan biji kopi pasca panen, mulai dari processing, pengeringan, hingga pengupasan kulit ari, dengan hasil akhir berupa green bean.
Saat ini, GCP menjadi mitra bagi lebih dari 80 petani yang secara konsisten memasok hasil panen mereka setiap musim panen. Bahkan GCP tercatat menyerap hingga 20 ton biji kopi pada musim lalu.
Ke depannya, Deden memiliki harapan untuk menjadikan GCP sebagai usaha pengolahan kopi yang terintegrasi dari hulu ke hilir. Ia juga bercita-cita agar GCP mampu memberikan dampak sosial dan ekonomi yang lebih luas bagi komunitas sekitar, tidak hanya terbatas pada para petani atau mitra GCP saja.