Empat Pembaharu Indonesia Terima Anugerah Ashoka Fellow

Ashoka Fellowship telah dianugerahkan kepada lebih dari 3.000 individu di seluruh dunia, termasuk lebih dari 200 orang di Indonesia sejak tahun 1983

Avatar
Ashoka Fellow memberikan anugerah kepada empat penggerak perubahan di Indonesia. Logo: Dok. Ashoka Fellow

Kolase.id – Ashoka, jaringan wirausahawan sosial terbesar di dunia, memberikan anugerah Ashoka Fellow kepada empat penggerak perubahan Indonesia. Mereka adalah Wida Septarina (Yayasan Lumbung Pangan Indonesia/Foodbank of Indonesia), Gustaff Iskandar (Common Room Indonesia), Andhyta F. Utami (Think Policy), dan Robin Lim (Yayasan Bumi Sehat).

Ashoka Fellow adalah dukungan sumber daya dan jaringan yang diharapkan dapat memperluas jangkauan dan dampak para penggerak perubahan sistem di seluruh dunia, termasuk Indonesia.

Keempat orang ini adalah pembaharu yang memiliki ide dan inovasi baru dalam menyelesaikan masalah-masalah pelik dengan cara yang inovatif dan kolaboratif.

Setelah melalui proses seleksi berjenjang, sidang Dewan Pembina Ashoka Global menilai bahwa Andhyta F. Utami (Afu) mampu membangkitkan kepedulian orang muda terhadap kebijakan publik dan literasi politik.

Dewan Pembina amat kagum dengan ekosistem makanan layak yang berlebih dan tidak terpakai dari hotel, toko, dan banyak sektor swasta lain yang kemudian dihubungkan oleh Wida Septarini dengan orang-orang yang kekurangan makanan di 47 kota, melalui 8.000 relawan dari Food Bank Indonesia.

Robin Lim yang menciptakan metode “gentle birth” mendorong transformasi kesehatan ibu yang lebih berbasis komunitas, inklusif, dan alami.

Sedangkan Gustaff Iskandar diberi anugerah Ashoka Fellow atas kemampuannya membangun koneksi internet bagi masyarakat adat di 10 propinsi serta membangun kekuatan mereka untuk mengoperasikan, memanfaatkan, serta meningkatkan penghasilan dari internet.

Ashoka Fellowship telah dianugerahkan kepada lebih dari 3.000 individu di seluruh dunia, termasuk lebih dari 200 orang di Indonesia sejak tahun 1983. Mereka adalah para pembuat perubahan sistem, yang mampu memperbaiki dan mengubah sistem yang berfungsi atau bekerja kurang baik menjadi sistem yang mensejahterakan masyarakat serta melestarikan lingkungan.

Berikut adalah profil singkat empat penerima Ashoka Fellow:

Andhyta F Utami (Afutami). Foto: Dok. Ashoka Fellow

Andhyta F. Utamii (Afutami) membuat ekosistem bagi orang muda di Indonesia untuk berpartisipasi dalam proses kebijakan publik serta meningkatkan literasi politik dan demokrasi. Berawal dari Bootcamp di 2019, Think Policy bertransformasi menjadi wadah bagi orang muda untuk memahami dan berpartisipasi dalam isu kebijakan publik. Afu juga menciptakan berbagai ruang pertemuan bagi pembuat kebijakan dan orang muda untuk membuat kebijakan publik yang lebih baik bagi semua.

Gustaff Iskandar. Foto: Dok. Ashoka Fellow

Gustaff Iskandar bersama dengan masyarakat adat Ciptagelar berhasil mengembangan infrastruktur internet bagi masyarakat adat dengan prinsip 5L (Low Tech, Low Energy, Low Maintenance, Low Learning Curve dan Local Support). Inovasi ini berhasil menjembatani kesenjangan digital sekaligus membuka akses bagi Masyarakat adat ke dunia pengetahuan dan informasi serta memastikan Masyarakat mendapatkan manfaat baik dan menekan dampak kurang baik dari internet melalui Sekolah Internet Komunitas.

Robin Lim. Foto: Dok. Ashoka Fellow

Robin Lim membuat standar baru dalam sistem pelayanan Kesehatan berbasis komunitas bagi masyarakat marginal dengan cara mengedepankan peran bidan dan mengaplikasikan prinsip “Gentle Birth” dalam proses persalinan. Robin juga berhasil membuat model respon terhadap bencana bagi para bidan, sehingga bidan dapat menjadi bagian penting dalam berbagai kondisi di masyarakat. Robin sudah menjadi Ashoka Special Relationship sejak tahun 2021 dan pada 2024 secara resmi menjadi Ashoka Fellow.

Wida Septarina. Foto: Dok. Ashoka Fellow

Wida Septarina menciptakan gerakan sosial berbasis relawan yang terdiri dari ibu rumah tangga, guru, komunitas lokal, dan perusahaan swasta untuk mengolah dan mendistribusikan kelebihan makanan (excess Food) dari keluarga dan industri makanan kepada masyarakat marginal. Hal ini merujuk pada posisi Indonesia yang menempati peringkat kedua dalam memproduksi limbah makanan di dunia. Namun, 16,2 juta orang di Indonesia masih menghadapi kelaparan, 21,6% balita di Indonesia mengalami stunting, dan hampir setengah dari lansia di Indonesia berisiko kekurangan gizi.*

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *