Kolase.id – Enam desa di Kabupaten Kubu Raya sepakat menutup sungai mereka dari aktivitas manusia. Kesepakatan yang tertuang dalam peraturan bersama kepala desa (Permakades) ini bertujuan memberikan kesempatan kepada satwa dan habitatnya untuk bernafas dan berkembang biak.
Ide penutupan sungai ini bermula dari inisiatif Kepala Desa Sungai Nibung Syarif Ibrahim usai berkunjung ke Vietnam pada 2017 silam. Di negara dengan julukan The Land of Blue Dragon inilah, Syarif Ibrahim belajar banyak hal tentang sungai.
“Hasil pendataan mendeteksi ada 23 sungai di Desa Sungai Nibung. Itu alur sungai besar. Di dalam sungai besar terdapat parit-parit atau anakan sungai. Pertanyaannya, mau kita apakan kekayaan sumber daya alam ini,” kata Syarif Ibrahim, Kepala Desa Sungai Nibung, Kamis, 24 Maret 2022.
Wacana pengelolaan ekosistem sungai secara berkelanjutan pun menggema. Buka tutup sungai menjadi salah satu pilihan. Itu digaungkan ke masyarakat pasca perolehan hak kelola hutan desa dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
“Sebelumnya kita sudah ada kajian-kajian akademis dan teknis dibantu Yayasan Planet Indonesia. Di situ kemudian terlihat bahwa wilayah kerja Lembaga Pengelola Hutan Desa akan menyasar ke areal produktif dan menjadi habitat kepiting yang sering diambil oleh masyarakat,” paparnya.
Syarif Ibrahim kemudian mencoba mendorong penataan keruangannya (spasial) dan dibagi kepada kelompok kerja masyarakat melalui perhutanan sosial seperti Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS). Tujuannya agar mereka dapat menjaga areal kerjanya dan mengamankan kawasan dari berbagai ancaman.
YPI kemudian membantu menyiarkan ke masyarakat bahwa kita akan melakukan program buka tutup sungai. Awalnya, hanya diterapkan di tiga sungai. Itu sudah berjalan sejak 2018. Begitu dibuka tiga bulan kemudian, ternyata hasilnya meningkat lumayan signifikan.
“Hasil panen bisa mencapai tiga kali lipat dibandingkan sebelum pemberlakuan program buka tutup sungai ini. Sebelumnya, hasil tangkapan warga hanya 3-5 kilogram. Kini bisa sampai belasan kilogram. Itu terus dilakukan sampai 2021,” ucap Syarif Ibrahim.
Hanya saja, kata Syarif Ibrahim, kendala saat ini masih ada oknum atau individu-individu nakal dan menyelinap masuk ke sungai yang sedang ditutup. Sejatinya sungai itu tak boleh diganggu oleh aktivitas apapun.
Untuk menekan laju aktivitas orang di sungai “terlarang”, akhirnya enam desa saling dukung dan bekerja sama menerbitkan Peraturan Bersama Kepala Desa (Permakades) dan sudah ketuk palu.
Desa-desa yang terlibat adalah Desa Sungai Nibung Kecamatan Teluk Pakedai, Dabung (Kubu), Mengkalang Jambu (Kubu), Mengkalang (Kubu), Seruat Dua (Kubu), dan Desa Kuala Karang (Teluk Pakedai). “Mereka setuju dengan kebijakan buka tutup sungai ini,” kata Syarif Ibrahim.
Kebijakan buka tutup sungai ini dilakukan secara bertahap, berjenjang, dan bergilir. Pada akhirnya nanti akan diketahui di mana habitat populasi itu berkembang. Kemudian di areal hutan desa mana yang dilakukan pemanfaatan kawasan untuk budidaya ramah lingkungan.
“Pemanfaatan sungai dan parit ini bisa diperluas daerah genangannya sehingga populasi kepitingnya pun mampu bertahan dan dipanen secara lestari,” ucapnya.
Kalau mengadopsi teori ke Vietnam, di sana tidak ada istilah musim kepiting. Setiap hari ada kepiting. Hanya saja kuantitas panennya yang dibatasi maksimal 5 kg. Selebihnya dilepas kembali.
Begitu halnya di sini, kata Syarif Ibrahim, pihaknya mencoba membangun komunikasi dengan dinas terkait untuk dapat membantu, katakanlah dari sisi penetapan peraturan itu sendiri.
Keterlibatan dinas dalam hal penangkapan dan pemasarannya, kata Syarif Ibrahim, dilakukan secara intens. Sementara desa berkewajiban melakukan buka tutup sungai sesuai regulasi yang berlaku.
Siapapun, baik masyarakat desa maupun dari luar desa diperlakukan sama, boleh menangkap di sungai yang sudah dibuka. “Hanya saja warga desa dapat nilai lebih. Mereka boleh mengapling kawasan-kawasan yang menjadi areal produktif kerja mereka agar dapat menghasilkan lebih,” ucapnya.*