Sosial  

Cornelis, PDIP, dan Pilpres 2024

Abdul Mukti Ro'uf, pengajar filsafat di Pascasarjana IAIN Pontianak.

Oleh Abdul Mukti Ro’uf

KESIMPULAN dari banyak lembaga survei kredibel telah memprediksi PDIP sebagai calon peraih suara tertinggi pada Pemilu Februari mendatang. Angka prediksinya antara 18-22 persen. Artinya, sebagai partai secara konsisten selalu menempati urutan pertama sejak reformasi kecuali pada pemilu 2004 dan 2009 di bawah satu tingkat Golkar dan Partai Demokrat pada Pemilu 2009. Suara Partai Demokrat melesat (21.655.295/20 %) karena faktor SBY sebagai presiden incumbent. Setelah menjadi oposisi selama 10 tahun dengan perolehan suara yang stabil, PDIP kembali berjaya pada Pemilu 2014 dan 2019 dengan perolehan suara masing masing 23.681.471 (18,95 persen) dan 27.053.961 (19,33 persen).

Jelang Pilpres dan Pileg 14 mendatang, partai ini mengalami turbulensi baik secara internal dan eksternal akibat konstelasi politik yang mengejutkan terutama pilihan politik kader terbaiknya Presiden Jokowi yang meninggalkan PDIP dengan mengendors paslon di luar PDIP. Namun, sebagai partai, goncangan itu telah akrab dalam perjalanan sejarah partai ini. Sehingga turbulensi itu relatif dapat dihadapi dengan ketenangan dan optimisme. Indikatornya adalah prediksi suara PDIP yang tetap bertengger di atas.

PDIP dan Sosok Cornelis

Drs. Cornelis, MH, mantan Gubernur dua periode di Kalbar yang kini masih menjadi anggota DPR RI adalah tokoh senior PDIP Kalbar yang memiliki pandangan optimistis karena faktor pendukung berupa bukti-bukti yang terukur, terutama dalam kontribusinya membangun Kalimantan Barat yang berbatasan langsung dengan Sarawak dan Brunei Darussalam. Kiprahnya yang cukup lama dalam membesarkan partai telah mengantarkannya menjadi gubernur dan memenangkan Jokowi sebagai presiden dua kali, 2014 dan 2019.

Kemenangannya di legislatif dan eksekutif selama sepuluh tahun memungkinkannya untuk memuluskan banyak kebijakan strategis di Kalimantan Barat. Di antaranya bagaimana mengawal APBN ke daerah, pembangunan infrastruktur dan kebijakan pembangunan lainnya. Sebagai partai pemenang pemilu yang menguasai jalur legislatif dan eksekutif, PDIP, terutama di bawah kepemipinan Cornelis yang kini dilanjutkan oleh kader terbaiknya, duet Lasarus-Karolin, tetap optimistis untuk menjadi pemenang di Kalbar. Kepemimpinan Lasarus yang kini menjadi ketua DPD PDIP Kalbar dan Ketua Komisi V DPR RI menjadi faktor penguat dalam membuktikan ketegaran dan soliditas partai di tengah turbulensi.

Maju dan (menang) kembali

Drs. Cornelis, MH memutuskan kembali untuk maju sebagai calon anggota DPR RI Nomor Urut 1di dapil Kalbar 1 (Sambas, Singkawang, Mempawah, Bengkayang, Landak, Ketapang, Kayong Utara, Pontianak, Kubu Raya) dengan jumlah daftar pemilih tetap (DPT) sekitar 2.667.291 dan dikuti oleh 18 partai dengan daftar calon tetap sekitar 141 calon legislatif untuk memperebutkan 8 kursi.

Bisa dikatakan bahwa Cornelis memiliki modal paripurna baik secara kuantitatif maupun kualitatif pada pileg 14 Februari mendatang. Secara kuantitatif, ia telah berhasil menjadi pengumpul suara terbanyak nomor urut satu di dapil satu Kalbar sebanyak 285.797 pada Pileg 2019. Ia juga secara terhormat menempati nomor urut kedua nasional di bawah Puan Maharani (404.034) di dapil Jawa Tengah V.

Secara kualitatif, Cornelis memiliki karakter yang dekat dengan masyarakat dan gemar turun ke lapangan dengan kemampuan retoris dan contoh-contoh yang konkret dan mudah dimengerti bagi masyarakat awam. Karir pemerintahannya yang berangkat dari bawah membuatnya mengerti tentang bagaimana membersamai rakyat pemilihnya.

Menolak Money Politic

Mungkin akan ada pertanyaan, bagaimana mungkin mendapat suara terbanyak jika tanpa iming-iming uang. Logika pemilihan transaksional memang telah lama merebak di kalangan pemilih dan yang dipilih. Sehingga untuk menjadi calon legislatif tidak mudah dan murah akibat budaya politik uang. Di situlah tantangan bagi calon legislatif.

Cornelis ternyata memiliki logika sederhana yang mudah dipahami: “Jika suara itu dibeli, maka si penerima tidak punya hak untuk mengadu dan menyalurkan aspirasi. Begitu juga dengan yang membeli. Ia tidak punya tanggung jawab untuk mendengrkan dan apalagi menyalurkan aspirasinya”. Kenapa? Karena suaranya sudah dibeli dari.awal.

Bagaimana mungkin suara aspirasi rakyat hanya dibayar 100.000 untuk mengelola banyak masalah selama lima tahun. Kesadaran ini hanya bisa disampaikan oleh orang yang telah membuktikan kinerja dan terpercaya. Di situlah memerlukan konsistensi keteladanan. Cornelis, terlepas dari banyak kelemahannya, memiliki kecakapan dan kepantasan untuk memberikan pencerahan tentang bahaya politik uang bagi keberlangsungan demokrasi dan pembangunan di Indonesia.

Sehingga, kemenangan politik dengan dasar prestasi kinerja, karakter melayani, anti KKN, dan pengbdian pada akhirnya akan mengantarkan demokrasi kepada khittah dan tujuannya: keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Yang benar pasti menang. Dan untuk benar dan menang membutuhkan karakter pejuang. Turbulensi yang mendera di PDI Perjuangan akhirnya akan menjadi bagian tak terpisahkan dari perjuangan untuk kebenaran dan kemenangan.*

(Penulis adalah pengajar filsafat dan analis sosial politik di Pascasarjana IAIN Pontianak)

Exit mobile version