Biomassa dalam Skema Transisi Energi Berpotensi Rampas Tanah Rakyat

Masyarakat sipil kembali turun ke jalan, mengingatkan pemerintah bahwa biomassa dalam skema transisi energi adalah solusi palsu

Avatar
Masyarakat sipil dan mahasiswa kembali turun ke jalan, memperingati Big Bad Biomass Internasional Day pada Senin (21/10/2024). Foto: Rizal Daeng/Kolase.id

Kolase.id – Sejumlah organisasi masyarakat sipil dan mahasiswa yang tergabung dalam “Koalisi Transisi Energi Berkeadilan” memperingati Big Bad Biomass Internasional Day dengan aksi damai di bundaran Tugu Digulis Universitas Tanjungpura Pontianak dan Kantor Gubernur Kalbar, Senin (21/10/2024).

Aksi ini dilatarbelakangi oleh kebijakan pemerintah terkait pemanfaatan biomassa, khususnya kayu pada proyek transisi energi. Transisi energi merupakan proses mengubah penggunaan sumber energi berbasis fosil seperti batu bara, menjadi penggunaan energi bersih, ramah lingkungan, dan minim emisi.

Skema transisi energi merupakan strategi “Energy Diversification” yang menjadi bagian dari kebijakan dan program energi dari banyak negara di dunia, terutama sejak ditandatanganinya Paris Agreement 2015 yang kemudian mendapatkan pengukuhan kembali pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 Bali 2022.

Indonesia menjadi salah satu negara di dunia yang berkomitmen untuk ambil bagian dalam menurunkan target pengurangan emisi karbon melalui pengembangan energi bersih. Untuk menyukseskan proyek energi itu, Pemerintah Indonesia mengeluarkan kebijakan di beberapa sektor, di antaranya kebijakan energi dan kehutanan.

Pada sektor energi, melalui Peraturan Presiden No. 79 tahun 2014, terbitlah Kebijakan Energi Nasional (KEN), yang kemudian diperbarui pada tahun 2024, dimana biomassa menjadi salah satu sumber energi yang dianggap terbarukan dan paling didorong dalam national energi mix hingga tahun 2040. Pemanfaatannya di atas surya, angin, dan air.

Peraturan Presiden No. 22 tahun 2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), juga mewajibkan badan usaha penyedia tenaga listrik membeli produk listrik dari pembangkit listrik tenaga biomassa (PLTBm), dan mendorong pembangunan sedikitnya satu unit PLTBm di setiap provinsi.

Pemenuhan biomassa kayu akan disediakan melalui Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan – Hutan Tanaman (PBPH-HT), yang telah diatur dalam PP Nomor 23 tahun 2021 tentang perizinan multi usaha di sektor kehutanan. Selain itu, juga melalui Permen LHK Nomor 7 tahun 2021, kawasan hutan produksi konversi dicadangkan untuk ketahanan energi, termasuk untuk Hutan Tanaman Energi.

Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor.SK.733/Menhut-II/2014 Tentang Kawasan Hutan dan Konservasi Perairan Provinsi Kalimantan Barat, luas kawasan hutan negara di Kalimatan Barat adalah 8.389.600 Ha atau 57,15 persen dari luas total wilayahnya.

Dari luasan kawasan hutan tersebut, 4.457.681 hektare atau setara 53,13 persen dari luas kawasan hutan adalah kawasan hutan produksi yang terdiri atas Kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT) seluas 2.132.398 Ha, Kawasan Hutan Produksi (HP) seluas 2.127.365 Ha, dan Kawasan Hutan Produksi yang dapat Dikonversi (HPK) seluas 197.918 Ha. Berarti terdapat ancaman dari proyek energi terhadap hutan alam di dalam fungsi HPK.

Sampai dengan tahun 2022, setidaknya terdapat 68 izin PBPH dengan luas 2.767.488 hektare dan merupakan area konsesi PBPH terluas di Indonesia.

Bahkan dalam rencana optimalisasi kebijakan transisi energi melalui pengembangan biomassa, sejumlah PLTU di Kalimantan Barat, setidaknya ada 7 PLTU, seperti PLTU Parit Baru Site Bengkayang 01 dan PLTU Ketapang 01 dapat dikembangkan dalam skema program Co-Firing.

Ketua Lingkaran Advokasi dan Riset (Link-AR) Borneo Ahmad Syukri menyebut, proyek transisi energi yang dijalankan saat ini berpotensi menimbulkan krisis lingkungan dan sosial yang lebih luas. Masyarakat selalu menjadi pihak yang harus menanggung semua dampak negatif secara sosial, ekonomi, dan lingkungan yang ditimbulkannya.

Menurut Ahmad Syukri, praktik kebijakan pembangunan dan pengembangan Hutan Tanaman Industri maupun Hutan Tanaman Energi di Indonesia, termasuk di Kalbar selalu memicu terjadinya perampasan tanah-tanah masyarakat (land grabbing), dan melahirkan konflik lahan dan hutan dengan masyarakat lokal (land tenure dispute) yang terus berulang dan berlarut.

Di banyak tempat di Kalimantan Barat, masyarakat yang menjadi korban dari pemberian izin konsesi dan beroperasinya perusahaan hutan tanaman industri adalah masyarakat adat. Bagi mereka, tanah dan hutan dengan semua sumber dayanya merupakan sumber penghidupan turun temurun. Di sisi lain, perluasan izin konsesi HTI/HTE, justru akan mendorong pembukaan tutupan hutan, atau laju deforestasi dan degradasi lahan akan jauh lebih luas.

Dengan demikian, target penurunan emisi karbon melalui skema REDD dipastikan gagal terpenuhi. Bahkan mendorong perubahan struktur dan fungsi ekosistem hutan dan habitatnya, termasuk mengancam kepunahan beberapa jenis satwa langka, seperti Orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus). Belum lagi pembakaran biomassa akan menghasilkan polusi udara yang dapat membahayakan kesehatan masyarakat.

Dalam dokumen Rencana Operasional Indonesia’s Forestry and Other Land Uses (FoLU) Net Sink 2030 yang selaras dengan target Enhanced Nationally Determined Contribution (ENDC), untuk memenuhi target Net Sink 2030 dibutuhkan pembangunan hutan tanaman, termasuk HTE baru hingga 6 juta hektare.

Data Forest Watch Indonesia (FWI) menyebutkan bahwa pengembangan Hutan Tanaman Energi (HTE) untuk proyek kayu biomassa justru akan menambah masalah baru. Pasalnya potensi deforestasi dari pembangunan HTE ini sangat masif. Total luas potensi HTE di Indonesia mencapai 1,29 juta hektare. Sebanyak 31 unit usaha telah berkomitmen mengembangkan HTE. Bahkan di Kalbar setidaknya ada tujuh korporasi yang mendapat izin untuk mengembangkan HTE.

Ketujuh perusahaan tersebut adalah PT. Muara Sungai Landak (MSL) dengan luas konsesi 13.000 Ha di Kabupaten Mempawah, PT. Hutan Ketapang Industri dengan luasan konsesi 100.150 Ha di Ketapang,  PT. Gambaru Selaras Alam dengan luas konsesi 20.445 Ha di Sanggau, PT. Inhutani III Nanga Pinoh dengan luas konsesi 119.080 Ha di Melawi, PT. Bhatara Alam Lestari dengan luas konses 7.100 Ha di Mempawah, PT. Nityasa Idola dengan luas konsesi 113.196 Ha di Sanggau, dan PT. Daya Tani Kalbar dengan luas konsesi 56.060 Ha di Ketapang.

Manajer Kampanye Bioenergi Trend Asia Amalya Reza Oktaviani mengatakan, Pemerintah Indonesia kerap kali menyampaikan komitmennya untuk melakukan transisi energi, namun justru mengedepankan solusi palsu.

“Pengembangan industri biomassa melalui pembukaan HTE besar-besaran di Kalimantan Barat, hanya akan mengakibatkan krisis iklim yang makin parah. Masih ada 56.372 hektare hutan alam di dalam 7 konsesi HTE di Kalimantan Barat,” ungkap Amalya.

Apabila hutan alam tersisa tersebut dibuka untuk ditanami tanaman energi, sambung Amalya, potensi pelepasan emisi karbonnya bisa mencapai 36,5 juta ton emisi karbon. Ditambah dengan emisi pembakaran biomassa di PLTBm.

“Seharusnya Pemerintah Daerah Kalimantan Barat melakukan peninjauan kembali terhadap rencana pengembangan energi terbarukan di Kalimantan Barat. Cari sumber energi yang benar-benar terbarukan, dan terutama berkeadilan bagi masyarakat,” pintanya.*

Kalimantan Barat merupakan salah satu provinsi dengan target mitigasi deforestasi hutan alam terluas dengan total 917.000 Ha. Sementara bila Kalimantan Barat dijadikan sentra pengembangan biomassa, maka potensi hutan alam yang hilang akan sangat besar.*

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *