Penertiban Kawasan Hutan Bentuk Legalisasi Kejahatan Negara

Koreksi kawasan hutan bukan semata perkara teknis spasial atau legalisasi status, melainkan soal keadilan ekologis, sejarah relasi kuasa, dan pemulihan hak masyarakat atas ruang hidup

Avatar
Suasana konferensi pers Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) terkait Penertiban Kawasan Hutan (PKH). Foto: Dok. Walhi

Kolase.id – Penertiban Kawasan Hutan (PKH) oleh Satuan Tugas (Satgas) faktanya semakin memperburuk kondisi di lapangan. Alih-alih memastikan pemulihan hak masyarakat dan ekosistem hutan yang selama ini dirusak oleh aktivitas ilegal korporasi sawit. Banyak patok-patok penyegelan dan pengambilalihan dilakukan di lahan milik masyarakat yang selama ini menjadi korban konflik tenurial.

Hal lainnya, Walhi juga menemukan fakta bahwa pascapengambilalihan lahan, pemerintah menyerahkan kembali lahan tersebut kepada PT Agrinas tanpa diketahui landasan hukumnya dan tanpa memastikan PT Agrinas tunduk pada undang-undang yang berlaku. Misalnya melakukan analisis dampak lingkungan, mendapatkan izin pelepasan kawasan hutan, dan prasyarat-prasyarat lainnya untuk bisa beroperasi.

“Fakta ini membuktikan bahwa Perpres 5 Tahun 2025 Tentang Penertiban Kawasan Hutan menggeser kejahatan yang sebelumnya dilakukan oleh perusahaan dengan fasilitasi negara, kepada kejahatan yang dilakukan secara langsung oleh negara,” kata Uli Arta Siagian, Manager Kampanye Hutan dan Kebun Walhi Nasional.

Dari temuan Walhi di 10 provinsi, seluruhnya proses penertiban kawasan hutan ini justru menimbulkan masalah baru dan tidak menjawab pemulihan ekologi dan pemulihan hak rakyat sebagai substansi utama.

“Hanya ada dua tujuan satgas penertiban kawasan hutan ini. Pertama adalah cari uang saja. Kedua adalah mengganti pemain, tadinya perusahaan swasta yang menumpuk keuntungan dari bisnis ilegal, sekarang perusahaan negara, yaitu Agrinas, yang jika dilihat di lapangan maupun pemberitaan terkait, orang-orang di Agrinas didominasi oleh militer,” tambah Uli.

Di Kalimantan Tengah, setidaknya terdapat sebanyak 127 perusahaan sawit dengan luasan kurang lebih total 849.988 hektare yang terdaftar dalam SK Menhut No 36 Tahun 2025 yang akan ditertibkan oleh Satgas PKH. Pantauan Walhi Kalimantan Tengah telah dilakukan plangisasi sebanyak 16 perusahaan di Kabupaten Kotawaringin Timur dan Seruyan.

Direktur Eksekutif Walhi Kalimantan Tengah Bayu Herinata menyatakan Penertiban Kawasan Hutan (PKH) di Kalimantan Tengah justru mempertegas bentuk baru kejahatan struktural yang dilakukan oleh negara.

“Di sejumlah wilayah seperti Kabupaten Seruyan dan Kotawaringin Timur, plangisasi yang dilakukan oleh satgas tidak jelas lokasi dan luasan lahannya berbeda dengan SK Menhut No.36 tahun 2025. Penyegelan juga tidak menghentikan aktivitas perusahaan di lokasi,” kata Bayu.

Selain itu, kata Bayu, Walhi Kalteng menemukan bahwa lahan-lahan masyarakat adat dan petani sawit kecil yang telah lama berkonflik dengan perusahaan sawit justru ikut disegel oleh Satgas. Padahal masyarakat adalah korban dari ekspansi ilegal perusahaan.

“Tidak adanya transparansi dan partisipasi masyarakat menyebabkan munculnya potensi konflik baru. Ini bukan penertiban, tetapi pemutihan korporasi dan legalisasi kejahatan lingkungan oleh negara. Seharusnya negara hadir menyelesaikan konflik dan melakukan pemulihan lingkungan, bukan menjadi aktor utama pelanggar hukum dan perusakan lingkungan,” sebut Bayu.

Hal yang sama juga terjadi di Kalimantan Barat. Dari hasil pengumpulan data dan informasi serta pemberitaan beberapa media, Walhi Kalbar menemukan ada empat perusahaan yang sudah ditertibkan oleh Satgas PKH yang kemudian disegel. Perusahaan yang disegel antara lain; PT. Rezeki Kencana di Kabupaten Kubu Raya seluas 1.672,83 hektare, PT. Riau Agrotama Plantation di Kapuas Hulu seluas 1.909,23 hektare, PT. Satria Multi Sukses di Kabupaten Landak seluas 1.371,73 hektare.

Untuk PT. SMS, pada 3 Maret 2025 masyarakat sempat melakukan aksi menuntut perusahaan sawit itu mengembalikan hutan lindung seluas 238,51 hektare yang diduga masuk dalam Hak Guna Usaha (HGU) PT SMS. Tak lama kemudian pada tanggal 17 Maret 2025 PT. SMS disegel satgas PKH. Namun belum ada informasi lebih lanjut mengenai tuntutan masyarakat terkait pengembalian hutan lindung yang menjadi wilayah kelola masyarakat.

Perusahaan lainnya yaitu PT. Duta Palma yang berada di Kabupaten Bengkayang dan Sambas, Kalimantan Barat, dengan luas lahan sawit 137.626,01 hektare. Perusahaan ini segel Satgas PKH, lalu diberikan kepada PT. Agrinas Nusantara. Tetapi pengambilalihan PT. Duta Palma tidak menyelesaikan konflik yang sebelumnya terjadi terhadap buruh yang di-PHK.

“Mengenai Perpres No 5 Tahun 2025 Walhi Kalbar merasa ini hanya menguntungkan negara karena penguasaan lahan-lahan yang diambilalih dan kawasan yang disegel tidak dikembalikan sesuai dengan fungsinya. Selain itu, kami khawatir penertiban ini juga menyasar masyarakat di Kalbar, seperti yang saat ini telah terjadi di wilayah-wilayah lain,” kata Indra Syahnanda, Kepala Divisi Kajian dan Kampanye.

Di Sumatra Barat, Walhi mencatat sekitar 105 ribu hektare lahan telah dipasangi segel oleh Satgas PKH. Namun hingga kini, belum jelas untuk siapa sesungguhnya proses penertiban ini ditujukan.

“Penertiban ini untuk siapa sebenarnya? Hutan seharusnya dipahami bukan sekadar aset legal formal, tetapi sebagai penyangga sistem kehidupan. Hutan memiliki fungsi ekologis, sosial, budaya, dan bahkan nilai spiritual bagi masyarakat yang menggantungkan hidup darinya. Maka hutan harus dilihat sebagai aset negara yang harusnya dipulihkan, sebagaimana yang disebutkan dalam Perpres,” kata Wengky Purwanto, Direktur Ekesekutif Walhi Sumatra Barat.

Wengky juga menambahkan, tipologi sawit dalam kawasan hutan itu sangat beragam. Misalnya di Kabupaten Agam, PT AMP, perusahaan yang terhubung dengan Wilmar Grup. Sekitar 1500 hektare lahannya yang disegel.

Jika dilihat sejarah asal-usul lahan, wilayah tersebut awalnya merupakan tanah ulayat milik masyarakat adat, yang awalnya disepakati untuk dibangun kebun plasma, namun hingga kini tidak pernah diberikan kepada masyarakat.

Ketika Satgas PKH menertibkan 1500 hektare yang dikelola PT AMP, harusnya penertiban tersebut diikuti dengan pengembalian wilayah kepada pemilik hak ulayat dan mengembalikan fungsi sebagai mana awalnya.

“Kompleksnya tipologi penguasaan di kawasan hutan ini, memang tidak mampu dijawab dengan Perpres 5 tahun 2025 yang menyimplifikasi persoalan. Jelas kita membutuhkan UU Kehutanan baru yang mampu menjawab tata kelola hutan Indonesia yang buruk,” kata Wengky.

Bukan hanya tidak menjawab substansi pemulihan, Walhi juga menemukan fakta di lapangan bahwa PT Agrinas melakukan pungutan paksa ke masyarakat. Di Sumatra Utara, wilayah yang selama ini dikuasai oleh PT Torganda, telah dilimpahkan secara diam-diam ke Agrinas.

Proses ini berlangsung secara tertutup dan tanpa disertai izin resmi pengelolaan kawasan hutan. Di saat yang sama, konflik lahan yang melibatkan perusahaan dan masyarakat terus berlangsung dan tidak kunjung diselesaikan.

“Bahkan, muncul oknum yang mengatasnamakan Agrinas dan meminta upeti sebesar Rp400 per kilogram hasil panen sawit. Proses pemungutan ini dilakukan secara intimidatif terhadap para kepala desa, dengan masuk ke wilayah desa menggunakan pakaian loreng dan membawa nama institusi tersebut. Tindakan ini menciptakan ketakutan serta tekanan psikologis di tingkat desa,” kata Riandra, Direktur WALHI Sumatra Utara.

Hal yang sama juga diungkapkan oleh Ginda Harahap, Manajer Advokasi Kajian Kampanye dan Organisasi Rakyat Walhi Jambi. PT Agrinas melakukan penyegelan di wilayah tanaman industri. Objek yang disegel oleh satgas berada di area yang masih dalam proses resolusi konflik agraria antara masyarakat dan perusahaan.

Penyegelan ini dinilai tebang pilih, karena wilayah yang disegel justru merupakan kawasan yang selama ini telah diproteksi dan sedang dalam tahap penyelesaian konflik. Tercatat bahwa 280 hektare lahan telah disegel oleh Satgas.

Padahal, telah ada surat resmi dari PT Agrinas, dan masyarakat sedang menjalani proses sosialisasi terkait kerja sama dengan perusahaan tersebut. PT Agrinas menawarkan skema bagi hasil dengan proporsi 40% untuk masyarakat dan 60% untuk perusahaan. Namun, seluruh proses pekerjaan ditanggungkan kepada masyarakat, tanpa pembagian tanggung jawab yang adil.

“Cara berpikir ini masih menempatkan kawasan hutan sebagai domain eksklusif negara. Ditambah lagi, penertiban kawasan hutan lebih mengedepankan pendekatan militerisme dan hukum dalam menghadapi permasalahan rakyat,” kata Ginda.

Menurutnya, Satgas PKH telah gagal menempatkan diri sebagai alat korektif yang berpihak kepada rakyat. Ia berjalan di bawah bayang-bayang institusi yang selama ini menjadi bagian dari masalah. Tanpa perubahan cara pandang ini, satgas tidak akan mampu menghasilkan solusi yang adil dan berkelanjutan.

Bagi Walhi Jambi, koreksi kawasan hutan bukan semata perkara teknis spasial atau legalisasi status. “Ini adalah soal keadilan ekologis, sejarah relasi kuasa, dan pemulihan hak masyarakat atas ruang hidup. Maka, upaya koreksi harus dimulai dari pengakuan terhadap masyarakat sebagai pemilik sah kawasan yang telah mereka kelola secara arif selama puluhan bahkan ratusan tahun,” tutup Ginda.*

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *