DI PATI, kemarahan rakyat meledak. Kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) hingga 250% diumumkan sebagai “kebijakan daerah”. Bagi petani dan rakyat kecil, bunyinya seperti pajak yang berganti seragam menjadi palak. Pertanyaannya sederhana: ini pajak atau palak?
Sejarah Jawa sudah kenyang dengan cerita semacam ini. Zaman kolonial, ada landrente—pajak bumi yang katanya untuk pembangunan, padahal untuk kas penjajah. Ada pula cultuurstelsel—tanam paksa yang membuat petani bekerja untuk orang lain.
Awal abad ke-20, Ki Samin Surosentiko dari Blora, tetangga Pati, memilih melawan tanpa senjata. Ia menolak pajak mencekik, hanya menanam padi untuk keluarganya. Baginya, menolak pungutan tak adil adalah menolak logika kekuasaan yang melihat rakyat sebagai lumbung yang bisa dipanen sesuka hati. Perlawanan ini bukan sekadar soal padi, tetapi tentang martabat dan hak untuk hidup tanpa dirampas.
Sejarah mencatat, rakyat pernah meledak karena pajak dan pungutan yang menindas. Pemberontakan Petani Banten 1888 meletus karena pajak tanah, kerja rodi, dan pungutan hasil bumi yang memeras rakyat.
Di Kediri 1903, pajak bumi dan monopoli perdagangan beras memaksa petani menjual panen dengan harga rendah, sementara pungutan tetap harus dibayar. Pada masa pendudukan Jepang (1942–1945), setoran padi melalui tonarigumi (semacam rukun tetangga) dan kumiai (koperasi tani) memaksa petani menyembunyikan gabah atau mencampurnya dengan pasir demi bertahan hidup.
Bedanya, dulu pelakunya penjajah; kini, kebijakan fiskal yang menambah beban tanpa membuka ruang penghasilan baru lahir dari tangan anak bangsa sendiri.
Data fiskal Pati memperjelas masalah ini. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Pati 2024 mencatat pendapatan Rp 2,94 triliun dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Rp 482,7 miliar. Rasio kemandirian fiskal naik tipis dari 15,99% (2023) menjadi 16,40% (2024), tetapi 84% belanja daerah tetap bergantung pada transfer pusat—tren membaik, namun ketergantungan kepada pemerintah pusat masih dominan.
Bayangkan, Pati seperti anak muda yang sudah cukup umur tetapi masih sering menunggu kiriman dari orang tua. Dari setiap Rp100 yang dibelanjakan, cuma Rp40 hasil kerja keras sendiri, sisanya Rp60 kiriman pusat. Memang nyaman hidup dari kiriman, tetapi kapan mau benar-benar berdiri di kaki sendiri?
Otonomi daerah sudah 24 tahun berjalan, tetapi di banyak kabupaten—termasuk Pati—ruang fiskal belum melebar karena inovasi minim. Padahal tetangga sudah membuktikan bisa: Kudus menggenjot PAD lewat UMKM dan wisata religi; Jepara menguasai pasar ekspor mebel jati; desa-desa di Rembang berani mengelola BUMDes di bidang logistik dan energi. Pati? Jalan pintasnya: naikkan PBB.
Masalah makin runyam karena komunikasi publik pemerintah terkesan kaku. Bukan dialog, tetapi ultimatum: “Terima atau tidak, ini keputusan.” Sejarah menunjukkan pola seperti ini jarang berakhir baik: dari Banten 1888, Kediri 1903, hingga masa Jepang, rakyat pecah perlawanan saat dipaksa memikul beban yang tak sanggup ditanggung.
Pati sebenarnya punya pilihan: menggarap potensi agroindustri, menghidupkan aset daerah yang mangkrak, mengembangkan wisata alam dan budaya, serta membangun kolaborasi investasi. Tapi itu butuh kepala yang berani berpikir keluar dari pola “tutup defisit dengan memeras warga.”
Selalu ada pelajaran di balik setiap peristiwa. Hari ini, Pati seperti berbisik ke telinga para politisi: “Kalau modalmu cuma dukungan partai dan setumpuk uang untuk ongkos politik, tetapi ide segar dan inovasi buat bikin daerah mandiri secara fiskal nggak ada, mending pikir ulang sebelum nyalon.”
Memimpin daerah itu bukan sekadar duduk di kursi empuk sambil tanda tangan berkas. Kalau tidak punya visi fiskal, ujung-ujungnya kebijakan terasa kayak “palak” di mata rakyat. Padahal, NKRI ini dibangun untuk melindungi, menyejahterakan, dan mewujudkan keadilan sosial bagi semua.
Kalau pajak berubah jadi beban yang mencekik, itu artinya kita sudah menjauh dari cita-cita para pendiri republik. Pajak seharusnya jadi jalan untuk membebaskan rakyat, bukan menjerat mereka seperti di masa penjajahan.
Sejarah sudah menulis babnya: pajak yang adil diterima, pajak yang menindas dilawan. Tinggal pilih—memperbaiki cara menulis cerita, atau membiarkan rakyat yang mengganti pengarangnya.*