Wati: Berjuang untuk hak tanah tanpa kenal lelah
Bagi masyarakat Banjaranyar, Ciamis, Jawa Barat, bertani adalah kehidupan. Bisa dibilang, mayoritas warga di sana bertani sebagai mata pencaharian. Bahkan, warga desa yang punya usaha toko pun bertani. “Kami bertani untuk makan sehari-hari dan menambah penghasilan. Misalnya, sebagian singkong dimakan, sebagian dijual. Hasilnya untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga,” kata Wati.
Apakah itu berarti bertani saja bisa membantu menyejahterakan ekonomi keluarga? “Betul. Kalau tidak ada tempat pertanian, kami mau makan apa? Bagaimana kami mau membangun rumah? Semua bisa dilakukan dari hasil pertanian,” katanya.
Sayangnya, belum semua warga Banjaranyar mendapatkan hak tanah yang digarapnya. Sebagian sudah mendapatkan sertifikat, sebagian lagi masih terus berjuang. “Sudah 24 tahun kami berjuang. Prosesnya memang sangat lama. Memperjuangkan hak tanah tidak bisa sebentar. Tidak seperti main hompimpa, tidak seperti membalikkan telapak tangan. Dan, perjuangan itu tidak pernah berhenti. Jika berhenti, tanah akan disergap oleh ‘musuh,” kata Wati, berapi-api.
Dalam perjalanannya berjuang atas hak tanah, Wati didampingi oleh manusia-manusia cerdas, yang umumnya adalah mahasiswa. Aktif di berbagai organisasi membuat Wati belajar banyak hal tentang hak perempuan atas tanah. Kehadiran KPA sebagai pendamping yang terus melakukan edukasi juga menambah ilmunya.
Ia menegaskan, perjuangan tersebut membutuhkan keberanian besar. Rumah Wati pernah didatangi aparat yang mencari-cari suaminya, yang memang seorang aktivis tentang hak tanah. Wati tidak gentar. Dengan suara lantang ia menantang balik para aparat tersebut. “Sejujurnya saya lebih takut, kalau mereka menemukan suami saya. Dia bisa dipenjara dengan tuduhan penjarahan tanah,” kisahnya.
Melihat keberanian Wati, perempuan di kampungnya seperti tertular. Wati pun mulai mengumpulkan mereka setiap kali ada kesempatan. Berbekal pengetahuan yang ia miliki, ia memberi pemahaman soal hak tanah bagi perempuan, selalu mengingatkan tentang pentingnya memperjuangkan hak tanah.
“Supaya mudah mengumpulkan mereka, saya membuat pengajian, seperti yasinan keliling. Jadi, sebelum yasinan, saya bicara dahulu dengan ibu-ibu. Bahwa perjuangan ini bukan perjuangan laki-laki, perempuan harus terlibat. Tapi, ketika mengadakan aksi di bawah terik matahari, perempuan, mah, di rumah saja. Kasihan, kan, kalau ada anak yang ikut,” cerita Wati.
Tak hanya diberi pemahaman, ibu-ibu tersebut juga belajar berpikir, berpidato, berbicara di depan umum, belajar tentang ilmu-ilmu tanah, tentang kenapa harus memohon tanah. Wati sendiri belajar tentang hak dasar atas tanah dari suami, yang kerap mendapatkan pelatihan dan pendidikan dari pendamping seperti KPA.
Wati berjuang bersama dalam wadah bernama SPP (Serikat Petani Pasundan). Menariknya, sejak awal berdiri, SPP menempatkan perempuan dengan hak dan tanggung jawab yang sama dengan laki-laki. Wati mencontohkan, ketika proses reclaiming tanah, sudah langsung tertera nama suami dan istri. Dalam reclaiming itu diatur batasan bidang tanahnya.
“Semisal, ada seorang istri mendaftar dan memohon dua persil (sebidang tanah dengan batasan tertentu). Nama istri dan nama suami sama-sama terdaftar. Ada juga ibu-ibu yang mendaftar dua persil dengan namanya sendiri, sementara suaminya tidak mau terdaftar, karena takut didatangi polisi.”
Sejauh ini, wilayah Banjaranyar 2 dan area persawahan 2 sudah mendapatkan sertifikat tanah, karena musuhnya sudah tidak ada. Sementara itu, Banjaranyar 1 dan persawahan 1 masih berjuang untuk mendapatkan sertifikat tersebut. Di Banjaranyar 2, SPP sudah membangun sekolah tingkat PAUD, SMP, SMK, dan pesantren. “Karena ada sekolah, pemerintah jadi ikut membantu, misalnya dalam hal bangunan. Awalnya dana pembangunan sekolah didapat dari iuran warga,” kata Wati, yang bercita-cita membangun perguruan tinggi di sana.
Bagi yang masih berjuang untuk mendapatkan hak tanah, Wati berpesan, “Jangan takut akan kebenaran. Walaupun perjuangannya memang tidak segampang itu, hasilnya indah,” tegasnya.