Kolase.id – Kolaborasi dari komunitas seni dan gerakan di Pontianak memperingati 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (HAKTP) pada Minggu (14/12/2025). Melalui pendekatan budaya dan seni, acara ini bertujuan menyuarakan solidaritas sosial terhadap kondisi timpang yang dialami perempuan.
Kegiatan tersebut dirancang dengan beragam pertunjukan dan diskusi interaktif, menarik perhatian publik dari berbagai kalangan usia. Rangkaian acara diisi dengan agenda yang memanfaatkan kekuatan narasi dan visual.
Kegiatan tersebut mencakup membaca nyaring, pemutaran film yang dilanjutkan dengan diskusi, pembacaan naskah bertema 16 HAKTP, dan pertunjukan teatrikal.
Selain pertunjukan utama, acara ini juga menghadirkan lapak buku dan zine, serta beragam lapak seni yang menyemarakkan suasana.
Melalui kegiatan seni dan diskusi, kolaborasi ini mengangkat beberapa isu krusial. Fokus utamanya adalah solidaritas sosial dan budaya terhadap berbagai bentuk kekerasan.
Ini termasuk kekerasan seksual, kekerasan negara dan pembangunan di Kalbar, kekerasan terhadap pembela HAM, serta sorotan pada resiliensi dan keberhasilan korban dalam menghadapi pengalaman traumatis.
Putri, panitia acara mengatakan kegiatan ini sangat penting untuk meningkatkan pemahaman dan kesadaran diri para perempuan.
“Pengunjung perempuan menjadi paham akan dirinya dan haknya serta bagaimana pengalaman perempuan lain layak diceritakan. Dengan kesadaran itu bisa mengurangi bahkan menghapus kekerasan terhadap perempuan,” jelasnya.
Pendekatan seni dipilih karena dianggap memiliki daya tembus yang kuat untuk menyentuh kesadaran publik.
“Bagi saya, menanggapi isu 16 HAKTP dengan seni itu menarik karena seni mampu masuk ke jiwa-jiwa setiap manusia. Lewat seni juga, Komunitas Imagirupa mengumpulkan ilustrator Pontianak untuk membuat stiker yang hasilnya akan digunakan untuk open donasi bagi Sumatera,” kata Nauval, seorang pelaku seni yang terlibat.
Antusiasme juga datang dari masyarakat awam yang hadir. “Melihat acaranya cukup seru, cukup menarik juga. Jadi untuk kalangan umum seperti saya pun, bisa ikut menikmati acaranya dan juga bisa menambah sedikit kesadaran terhadap masyarakat terhadap isu kekerasan itu,” ujar Aldo, satu di antara pengunjung umum.
Kegiatan kolaboratif ini menjadi contoh nyata bagaimana isu kritis seperti kekerasan terhadap perempuan dapat diolah menjadi sebuah gerakan budaya yang menarik dan inklusif, tidak hanya bagi aktivis tetapi juga bagi masyarakat luas di Kalimantan Barat dan Indonesia.*












