Ironi di Balik Kebijakan Transisi Energi

Pemerintah harus menjalankan program transisi energi secara akuntabel, transparan, partisipatif, menghormati, memenuhi, dan melindungi hak asasi manusia serta keadilan ekologis.

Avatar
Greenpeace Indonesia memproyeksikan pesan ke bukit, sebelum KTT G20 di pantai Melasti di Bali, pada 14 November 2022. Pesan tersebut ditujukan kepada para pemimpin G20 yang sedang dalam konferensi membahas tiga pilar utama, salah satunya tentang transisi energi dan kemitraan. Diketahui, KTT G20 akan menyepakati salah satu proyek transisi energi di Indonesia, dan sebagian besar akan mempensiunkan PLTU lebih awal. Foto: Dok Greenpeace.

Kolase.id – Koordinator Kampanye Regional Iklim dan Energi Greenpeace Asia Tenggara Tata Mustasya menilai ada ironi di balik kebijakan transisi energi. Di satu sisi pemerintah menginginkan transisi, namun tidak ingin mengurangi penggunaan sumber daya energi fosil seperti batubara.

Just Energy Transition Partnership atau JETP lahir di tengah kebuntuan Indonesia dalam transisi energi. Jika selama ini baru sekadar pembicaraan soal komitmen transisi, JETP ini lebih konkret. Jadi prinsipnya, pemerintah bilang show the money dulu,” ujar Tata dalam Diskusi Green Editor Forum yang diselenggarakan oleh Masyarakat Jurnalis Lingkungan (SIEJ) secara online, Sabtu (26/11/ 2022).

Menurut Tata, jika dibandingkan dengan negara-negara anggota G20, Indonesia adalah satu-satunya negara yang minus pertumbuhan energi terbarukan. Indonesia juga negara paling tertinggal dalam akselerasi energi terbarukan.

Selain itu, lanjut Tata, dari data kondisi penggunaan energi fosil di negara-negara G20, sepertinya Indonesia juga tidak ingin mengurangi penggunaan batubara yang mungkin pada 2040 tidak lagi menyimpan dengan level eksploitasi seperti saat ini.

Jika dilihat dari data, secara umum negara-negara G20 sudah mengalami pertumbuhan kapasitas PLTU yang negatif. Namun Indonesia salah satu negara yang kapasitas PLTU-nya masih tumbuh dan tertinggi.

Meski demikian, ia melihat JETP adalah suatu kemajuan dalam mendorong transformasi energi di Indonesia. Dalam tiga tahun terakhir, desakan publik cukup kuat untuk mendorong pentingnya transisi energi.

Hal itu bukan saja lantaran krisis iklim semakin tinggi frekuensinya, atau semakin buruknya dampak yang dirasakan publik, tetapi juga dorongan dari komunitas global.

“Di Indonesia, rencana detail pemerintah soal JETP belum disampaikan ke publik. Maka penting untuk mendesak keterbukaan, keterlibatan publik, dan mekanisme konsultasi publik harus real, bukan formalitas belaka,” kata Tata.

Greenpeace menyerukan bahwa percepatan transisi energi harus menjadi agenda utama kebijakan publik dan ekonomi. Sebab, transisi harus dilihat dalam kepentingan untuk menghentikan krisis iklim, menjamin ketahanan energi, dan akses kepada energi yang inklusif. Apalagi dana yang nanti akan dikucurkan dalam bentuk utang.

“Penting untuk mendorong isu ini menjadi isu publik. Pemerintah harus mengadopsi prinsip dan nilai. Di antaranya program yang akuntabel, transparan, serta partisipatif. Transisi energi juga harus menghormati, memenuhi, dan melindungi hak asasi manusia dan keadilan ekologis,” ucap Tata.

Saat diluncurkan di G20, JETP dirancang untuk memperkuat komitmen global dalam mencegah kenaikan suhu tidak melampaui 1,5 derajat celcius. Indonesia juga didorong untuk mencapai net zero emission di sektor energi pada 2050, atau 10 tahun lebih awal dari komitmen sebelumnya.

Skema ini juga meminta komitmen percepatan pemensiunan dini PLTU batubara serta akselerasi bauran energi terbarukan setidaknya 34 persen di semua pembangkit listrik pada 2030.

“Seharusnya dalam JETP, pemerintah Indonesia mendetailkan komitmen untuk menghentikan pembangunan PLTU baru. Tentu akan ada kategori pembangkit yang akan dipensiunkan, di antaranya bisa dari yang paling berpolusi,” tutup Tata.*

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *