Kolase.id – Lembaga Teraju Indonesia mengungkap berbagai pelanggaran hak pekerja di sektor perkebunan sawit Kalimantan Barat melalui laporan bertajuk “Kerja Tanpa Perlindungan: Potret Pelanggaran HAM di Perkebunan Sawit di Kalimantan Barat” yang diluncurkan pada Selasa (11/11/2025).
Temuan lapangan menunjukkan bahwa banyak buruh sawit di provinsi ini bekerja tanpa kontrak tertulis, tanpa kepastian upah, dan tanpa jaminan sosial.
Berdasarkan Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 Pasal 56–59, setiap perjanjian kerja harus dibuat secara tertulis dan memiliki jangka waktu yang jelas. Namun, hasil temuan Teraju Indonesia menunjukkan banyak pekerja yang tidak memiliki kontrak kerja formal.
Bahkan, sebagian buruh telah bekerja selama 5 hingga 10 tahun, tetapi masih berstatus sebagai Buruh Harian Lepas (BHL). Praktik ini melanggar Pasal 77–78 UU Ketenagakerjaan karena tidak memberikan kepastian jam kerja dan upah.
Kondisi ini mengakibatkan para buruh tidak memiliki slip gaji, sehingga sulit mengakses layanan kredit, pendidikan, maupun program bantuan sosial. Selain pelanggaran kontrak, laporan juga mengungkap adanya indikasi kerja paksa dan tindak pidana perdagangan orang (TPPO).
Banyak buruh didatangkan dari berbagai daerah seperti Nusa Tenggara Timur, Lombok, Sulawesi, Jawa, dan Sumatra melalui agen tidak resmi atau jaringan perekrut di desa. Mereka dijanjikan gaji di atas UMK dan pengangkatan menjadi karyawan tetap setelah tiga bulan bekerja, namun janji tersebut tidak pernah terealisasi.
Lebih parah lagi, sebagian besar buruh tidak didaftarkan dalam program BPJS Ketenagakerjaan, yang merupakan pelanggaran terhadap UU No. 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Kondisi ini juga termasuk kategori eksploitasi tenaga kerja sebagaimana diatur dalam UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).
Direktur Teraju Indonesia Agus Sutomo mengungkapkan bahwa lembaganya telah menyampaikan berbagai temuan tersebut ke instansi terkait. “Kita sudah menyampaikan informasi ke pengawasan provinsi dan beberapa sudah mendapat tindakan, lalu ke kabupaten, dan kita juga sudah menyampaikan beberapa kasus ke Desk Ketenagakerjaan Polda Kalbar, tetapi sampai hari ini belum dapat kabar,” ujarnya.
Lemahnya pengawasan pemerintah menjadi akar pelanggaran HAM ini terus terjadi. Pemeriksaan yang dilakukan masih bersifat administratif, tanpa investigasi langsung di lapangan. Akibatnya, banyak pelanggaran tidak tercatat karena buruh takut melapor atau laporan mereka tidak ditindaklanjuti.
Ketua Federasi Buruh Kelapa Sawit Kalimantan Barat Yublina Yuliana Oematan menilai perlunya Peraturan Daerah (Perda) khusus untuk sektor perkebunan sawit agar ada perlindungan lebih jelas bagi para buruh.
“Untuk itu kami mendorong peraturan daerah khusus untuk perkebunan sawit, karena kasus-kasus ketidakadilan ini masih marak kita temukan di lapangan,” tegasnya.
Agus Sutomo menambahkan bahwa Kalbar sebenarnya sudah memiliki Perda tentang ketenagakerjaan, namun belum mengatur secara spesifik sektor-sektor rentan seperti perkebunan sawit dan pertambangan.
“Mestinya ada aturan spesifik agar persoalan ketenagakerjaan di sektor ini jadi lebih jelas dan terarah,” pungkasnya.
Advokasi publik, pelaporan media, dan dukungan komunitas lokal dinilai dapat membantu menekan pemerintah dan perusahaan agar lebih transparan serta bertanggung jawab terhadap pekerjanya.
Keterlibatan organisasi masyarakat, akademisi, dan media menjadi langkah krusial dalam memastikan pelaksanaan hukum ketenagakerjaan berjalan sesuai dengan prinsip hak asasi manusia.*












