AJI dan Traction Energy Bahas Energi Nuklir Hingga ke Pulau Semesak

Kompleksitas isu nuklir memerlukan pendekatan jurnalisme yang lebih dalam, dengan riset dan pemahaman saintifik yang kuat

Avatar
AJI Pontianak bersama Tranction Energy Asia menggelar Sarasehan Nuklir di Pontianak, Kalbar, Sabtu (26/4/2025). Foto: Dok. AJI Pontianak

Walhi Kalbar tegaskan risiko besar PLTN Bengkayang

Rencana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di Bengkayang, Kalimantan Barat, menuai penolakan keras dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalbar. Direktur Eksekutif Daerah Walhi Kalbar Hendrikus Adam menilai, proyek ini membawa risiko besar terhadap keselamatan masyarakat dan kelestarian lingkungan.

Menurut Adam, penggunaan teknologi nuklir tidak bisa dipandang enteng. Ia menegaskan bahwa radiasi dari PLTN tidak pernah sepenuhnya bisa dikendalikan, bahkan oleh negara-negara maju sekalipun.

“Bagi bangsa Indonesia, penggunaan PLTN masih berat. Tidak ada teknologi yang 100 persen aman dari radiasi. Ini bukan sekadar alih teknologi, tetapi lebih berorientasi proyek,” kata Adam.

Senada dengan Adam, pakar nuklir Dr. Iwan Kurniawan mengingatkan bahwa keyakinan Kalimantan sebagai kawasan aman dari bencana adalah mitos yang keliru. Berdasarkan data Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Kalimantan Barat memiliki sejumlah sesar aktif seperti Sesar Meratus, Mangkalihat, Tarakan, Maratua, Sampurna, dan Paternoster. Rentetan gempa dengan berbagai magnitudo pernah mengguncang daerah seperti Kapuas Hulu, Pontianak, Landak, Bengkayang, hingga Ketapang dan Sintang dalam kurun waktu 2019 hingga 2023.

Tak hanya ancaman gempa, Kalimantan Barat juga kerap dilanda bencana ekologis seperti banjir yang meluas di berbagai wilayah. Menurut Adam, kondisi ini menunjukkan bahwa pembangunan tapak PLTN di Pantai Gosong, Bengkayang, sangat berisiko.

“Berbagai tanda kemurkaan alam ini dapat menjadi ancaman nyata terhadap keberadaan reaktor PLTN bila tetap dipaksakan,” ujarnya.

Adam juga mengingatkan bahwa dunia telah mencatat sejarah kelam kecelakaan reaktor nuklir, seperti di Fukushima, Jepang (2011); Three Mile Island, Amerika Serikat (1979); Chernobyl, Ukraina (1986); hingga tragedi di Rusia dan Kazakhstan. Dampak yang ditimbulkan tidak hanya kerusakan genetik dan gangguan kesehatan, tetapi juga kematian massal.

“Negara-negara maju yang memiliki teknologi tinggi pun gagal mengendalikan risiko PLTN. Kita tidak menginginkan Kalimantan Barat menjadi Chernobyl berikutnya,” tegasnya.

Ia pun mengkritisi kurangnya transparansi pemerintah dalam menginformasikan rencana pembangunan PLTN kepada masyarakat. Menurutnya, sebagian warga sekitar tapak bahkan belum pernah mendapatkan sosialisasi resmi terkait proyek ini, sehingga banyak yang menganggapnya sekadar isu.

Adam menilai inisiatif membangun PLTN lebih dipicu oleh kepentingan industri dibanding kebutuhan nyata rakyat. Selain biaya pembangunan dan rehabilitasi yang sangat mahal, limbah radioaktif yang dihasilkan juga menimbulkan ancaman jangka panjang.

“Bukannya mengoptimalkan potensi energi terbarukan seperti tenaga surya, air, dan biomassa yang jauh lebih aman, murah, dan ramah lingkungan, pemerintah malah mendorong proyek berisiko tinggi ini,” kata Adam.

Ia juga mengecam klaim Direktorat Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM yang menyebut tidak ada penolakan terhadap rencana pembangunan PLTN di Kalbar.

“Itu adalah bentuk sesat pikir dan kebohongan publik yang berpotensi menyesatkan masyarakat,” tutup Adam.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *