Kalbar dan Bencana Besar yang Datang Perlahan: “Sedia Payung Sebelum Hujan” dalam Tafsir Kebencanaan Sosial-Ekologis

Oleh Gusti Hardiansyah

Avatar
Banjir rob yang melanda Kota Pontianak pada 8 Desember 2025. Foto: Andi Fachrizal/Kolase.id

KALIMANTAN Barat kerap merasa “lebih aman” ketika berbicara bencana. Tidak ada patahan aktif raksasa, tidak ada deretan gunung api, tidak pula gempa besar yang rutin mengguncang. Dalam imajinasi publik, bencana besar adalah urusan Sumatra, Jawa, atau Sulawesi. Namun justru di situlah letak jebakan berpikir kita.

Kalimantan Barat memang tidak akan “meniru” Sumatra secara geologis. Tetapi dari sisi dampak sosial, ekologis, dan ekonomi, Kalbar menyimpan potensi krisis kebencanaan yang sama beratnya—bahkan lebih lama pulihnya. Bukan bencana yang datang tiba-tiba, melainkan bencana besar yang pelan, senyap, berulang, dan menggerogoti fondasi kehidupan.

Bencana yang Dianggap Biasa

Banjir, puting beliung, tanah longsor—yang populer disebut Batingsor—sudah menjadi menu tahunan di Kalbar. Ditambah lagi kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) dengan kabut asapnya, banjir rob di wilayah pesisir, serta gangguan iklim ekstrem yang kian sulit diprediksi. Ironisnya, karena sering terjadi, semua itu perlahan dianggap kejadian rutin.

Di sinilah masalah bermula. Ketika bencana diperlakukan sebagai rutinitas, respons pun menjadi rutin. Bantuan darurat disalurkan, rumah diperbaiki seadanya, jalan ditimbun kembali, lalu kehidupan berjalan seperti biasa—hingga banjir berikutnya datang. Pola ini menciptakan apa yang oleh banyak pakar disebut sebagai capacity–risk gap: ketika risiko meningkat lebih cepat dibanding kapasitas penanganan dan adaptasi masyarakat serta pemerintah.

Fenomena ini sejalan dengan temuan ilmiah global bahwa perubahan iklim tidak selalu melahirkan bencana spektakuler, melainkan meningkatkan frekuensi dan intensitas kejadian ekstrem yang berulang, sehingga akumulasi dampaknya justru lebih merusak dalam jangka panjang (, Sixth Assessment Report, 2023).

Geologi Stabil, Ekologi Rentan

Berbeda dengan Sumatra yang rentan akibat dinamika tektonik, kerentanan Kalbar justru bersumber dari bentang alam dataran rendah, sistem sungai raksasa, dan lahan gambut luas. Daerah Aliran Sungai (DAS) Kapuas, Sambas, Pawan, hingga Melawi bukan hanya jalur air, tetapi juga urat nadi ekonomi, transportasi, dan permukiman.

Masalahnya, daya dukung ekologis DAS ini terus menurun. Deforestasi di hulu, degradasi gambut, perubahan tata guna lahan, serta pembangunan yang mengabaikan daya tampung air membuat setiap hujan ekstrem berubah menjadi banjir luas. Air tidak lagi punya ruang untuk meresap dan ditahan; ia langsung mengalir, meluap, dan merendam.

Dalam konteks ini, banjir Kalbar bukan sekadar peristiwa hidrologi, melainkan indikator kegagalan tata kelola lanskap. Dampaknya mungkin tidak seketika memakan ribuan korban jiwa, tetapi perlahan memiskinkan, merusak kesehatan, mengganggu pendidikan, dan melemahkan ekonomi lokal.

Slow-Onset Disaster: Sunyi Tetapi Menghancurkan

Berbeda dengan gempa atau tsunami yang dramatis, slow-onset disaster bekerja secara akumulatif. Karhutla, misalnya, tidak selalu mematikan secara langsung. Namun asap yang berulang setiap musim kering meninggalkan jejak panjang: gangguan pernapasan, turunnya produktivitas, biaya kesehatan membengkak, dan citra daerah yang tercoreng hingga lintas negara.

Begitu pula banjir dan rob. Rumah yang terendam setahun sekali mungkin masih bisa diperbaiki. Tetapi ketika terendam tiga atau empat kali dalam satu dekade, nilai aset turun, tabungan habis, dan warga terjebak dalam kemiskinan struktural berbasis bencana. Inilah bencana besar yang pelan—tidak meledak, tetapi mengikis.

Kapasitas yang Tertinggal

Risiko kebencanaan Kalbar meningkat seiring perubahan iklim global. Curah hujan makin ekstrem, musim kering makin panjang, dan anomali cuaca makin sering. Sayangnya, kapasitas penanganan masih didominasi pendekatan reaktif: fokus pada tanggap darurat, bukan pencegahan dan mitigasi jangka panjang.

Padahal, jika bencana dipahami sebagai proses sosial-ekologis, maka solusinya pun harus sistemik. Tidak cukup membangun tanggul tanpa memulihkan hulu DAS. Tidak cukup memadamkan api tanpa membasahi kembali gambut. Tidak cukup relokasi tanpa peta risiko yang diperbarui.

Sedia Payung Sebelum Hujan

Peribahasa “sedia payung sebelum hujan” sering terdengar klise, tetapi dalam konteks Kalbar, ia memiliki makna strategis. Payung itu bukan hanya logistik darurat, melainkan:

Tata ruang berbasis risiko, bukan sekadar administrasi izin. Restorasi ekosistem hulu dan gambut sebagai infrastruktur alam. Sistem peringatan dini banjir, rob, dan asap yang terintegrasi. Kelembagaan pemulihan yang kuat, lintas sektor, dan berjangka panjang. Pelibatan masyarakat lokal sebagai subjek, bukan objek kebijakan.

Prinsip kehati-hatian ini sejatinya telah lama ditegaskan dalam ajaran Islam, sebagaimana firman Allah SWT: “Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan.” (QS. Al-Baqarah [2] : 195). Wa lā tulqū bi-aidīkum ilā at-tahlukah.

Ayat ini bukan hanya pesan moral individual, melainkan peringatan kolektif agar manusia tidak mengabaikan risiko yang jelas terlihat di hadapan mata.

Menangkap Pesan sebelum Terlambat

Bencana selalu memberi sinyal, jauh sebelum menjadi tragedi. Banjir yang makin sering, asap yang makin lama bertahan, rob yang kian masuk ke daratan—semuanya adalah pesan alam. Pertanyaannya sederhana: apakah kita mau mendengar sebelum hujan benar-benar menjadi badai? Kalbar masih punya waktu. Tetapi waktu itu tidak akan menunggu selamanya.*

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *