Kolase.id – Sebuah kabar dari seberang, Indonesia turut serta memeriahkan pameran seni kontemporer bertajuk “Isle to Isle: A Reflection of BIMP-EAGA Through Contemporary Art” yang diselenggarakan di National Gallery Malaysia mulai 17 Juli 2025 hingga Mei 2026.
Pameran ini mengeksplorasi identitas budaya, sejarah, dan keterhubungan masyarakat di kawasan Brunei-Indonesia-Malaysia-Philippines East ASEAN Growth Area (BIMP-EAGA) melalui karya seni yang kritis dan reflektif.
Sebagai bagian dari Nusantara, Indonesia menyuguhkan karya-karya yang menggali narasi lokal, tantangan ekologis, serta dinamika sosial-budaya melalui perspektif seniman dan kolektif seni tanah air. Pameran ini menjadi ruang penting untuk memperkuat dialog antarnegara serumpun sekaligus menegaskan peran seni dalam merespon isu-isu kontemporer.
Keterwakilan Indonesia: Suara dari Pinggiran dan Warisan Budaya
Dua kolektif seni asal Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur menampilkan karya instalasi yang mengangkat tema migrasi, lokalitas, dan tantangan ekologi.
Kolektif Susur Galur (Pontianak) – “Mengairi Sekitar, Memaknai Sekumpulan”. Menggunakan pendekatan seni dan teknologi Holo Fan dan Projection Mapping, karya ini memvisualisasikan kehidupan masyarakat di sepanjang Sungai Kapuas—sungai terpanjang di Indonesia yang menjadi saksi sejarah perdagangan, migrasi, dan akulturasi budaya. Dilengkapi dengan soundscape dari empat kampung sungai, instalasi ini menghadirkan pengalaman partisipatif dan imersif bagi penonton tentang hubungan manusia dengan alam.
Kolektif Muarasuara (Samarinda) – “Verses of Stones”. Instalasi suara ini menggunakan batu sebagai medium simbolis untuk menyuarakan dampak pembangunan dan eksploitasi alam di Kalimantan Timur. Melalui suara dan gerakan, karya ini mengajak penonton merenungkan konflik antara modernisasi dan keberlanjutan ekologis.
Misi Budaya dan Diplomasi Seni
Pameran Isle to Isle tidak hanya menjadi ajang ekspresi artistik, tetapi juga upaya dekolonisasi pengetahuan melalui pendekatan “Asia as Method” (Chen Kuan-hsing).
Karya-karya dari Indonesia menantang narasi dominan tentang Kalimantan sebagai wilayah terisolasi, sebaliknya menegaskan jejaring budaya yang telah terbentuk selama berabad-abad.
“Seni adalah upaya untuk memahami identitas kolektif kita yang cair namun berakar kuat. Melalui pameran ini, Indonesia ingin menunjukkan bahwa lokalitas bukanlah batas, melainkan jembatan untuk membangun pemahaman regional yang lebih inklusif,” ujar Gusti Enda, perwakilan Kurator Pameran Isle to Isle: A Reflection of BIMP-EAGA”.*