Penetapan Hutan Adat Dinilai Mendesak untuk Lindungi Masyarakat Adat

Pengembangan Hutan Tanaman Industri (HTI) berpotensi menghapus memori sejarah yang melekat di wilayah adat

Avatar
Rilis data BRWA 2025 dan FGD tentang percepatan pengakuan, perlindungan, dan pemberdayaan hak-hak masyarakat adat di Kalbar yang dihelat di Hotel Neo Pontianak, Senin (11/8/2025). Foto: Rizki Fadriani/Kolase.id

Kolase.id – Penetapan hutan adat dinilai mendesak dilakukan untuk melindungi situs-situs bersejarah, menjaga lanskap budaya, dan memastikan hak masyarakat adat atas wilayahnya tetap terjaga. 

Kepala Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) Pusat Kasmita Widodo menegaskan bahwa tanpa pengakuan resmi, kegiatan pemanfaatan hutan seperti logging dan pengembangan Hutan Tanaman Industri (HTI) berpotensi menghapus memori sejarah yang melekat di wilayah adat.

“Begitu wilayah adat diakui, perusahaan tidak bisa lagi membuat rencana kerja tahunan (RKT) tanpa persetujuan masyarakat adat. Ini memberi ruang bagi masyarakat untuk mempertahankan kawasan penting secara sosial dan budaya,” ujarnya.

Ia mencontohkan hasil verifikasi lapangan di Damang Batu, Kalimantan Tengah, di mana banyak lokasi sakral suku Ot Danum berada dalam kawasan izin Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH). Perubahan lanskap akibat penebangan telah mengeringkan sungai dan membatasi interaksi masyarakat dengan wilayah adatnya. Langkah penetapan hutan adat juga menjadi filter terhadap perpanjangan izin PBPH di masa mendatang.

“Selagi memori para tetua adat masih hidup, proses ini harus segera dilakukan. Ini bukan hanya soal hak, tapi soal menjaga identitas dan sejarah yang tidak tergantikan,” tegasnya.

Sejalan dengan hal itu, Kepala Bidang Rehabilitasi dan Pemberdayaan Masyarakat DLHK Kalbar Setiyo Haryani menjelaskan bahwa penetapan hutan adat menjadi satu di antara isu penting dalam pengelolaan sumber daya alam di Indonesia.

Selain telah diatur dalam undang-undang dan peraturan terkait, hutan adat merupakan bentuk pengakuan bahwa masyarakat adat memiliki hak untuk mengelola dan memanfaatkan wilayah yang menjadi bagian dari tanah mereka.

“Hutan adat bisa berada di mana saja selama syarat-syaratnya terpenuhi. Ada sejumlah aspek yang harus dipenuhi sebelum wilayah dapat resmi ditetapkan sebagai hutan adat,” ujarnya kepada jurnalis Kolase.id

Proses penetapan hutan adat melibatkan berbagai pihak, tidak hanya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), tetapi juga pemerintah daerah, Badan Pertanahan Nasional (BPN), akademisi, dan unsur terkait lainnya. Mekanisme ini dilakukan secara hati-hati untuk memastikan keabsahan dan keberlanjutan pengelolaan hutan adat.

Setelah wilayah resmi ditetapkan sebagai hutan adat, konsekuensinya adalah pengurangan area Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH). Namun, proses ini tidak selalu berjalan mulus.

“Kadang ada kendala di lapangan, seperti pihak PBPH yang enggan melepas wilayahnya. Meski begitu, ada juga yang kooperatif dan bersedia mengeluarkan areanya,” tambahnya.

Meskipun prosesnya kerap menghadapi dinamika, penetapan hutan adat tetap menjadi langkah penting untuk menjamin hak masyarakat adat. Sepanjang syarat terpenuhi, wilayah tersebut dapat ditetapkan tanpa adanya sanksi bagi pihak-pihak terkait.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *