Kolase.id – Koalisi Masyarakat Sipil bersama perwakilan masyarakat adat Kualan, Ketapang, Kalimantan Barat akhirnya melaporkan PT Mayawana Persada (MP) ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) di Jakarta, Senin (29/4/2024).
Koalisi mendesak KLHK untuk mencabut izin PT MP lantaran deforestasi yang dilakukan hingga seluas 35 ribu hektare dari total konsesi 136.710 hektare sejak 2016.
PT MP dilaporkan melanggar pasal 1 angka 16 UU Nomor 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup atas perusakan lingkungan yang terdiri dari perusakan gambut lindung hingga habitat orangutan.
Koalisi yang terdiri dari Satya Bumi, Walhi Eksekutif Nasional, Walhi Kalimantan Barat (Kalbar), Link-Ar Borneo, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kalbar, AMAN Ketapang Utara, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pontianak, Greenpeace Indonesia, Forest Watch Indonesia, Pantau Gambut, dan Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK) ini menemui perwakilan KLHK di Gedung Manggala Wana Bhakti sekitar pukul 09.00 WIB.
Dalam pertemuan itu, mereka mendesak pertanggungjawaban negara, dalam hal ini KLHK, untuk mencabut izin PT MP, memulihkan kerusakan lingkungan yang disebabkan perusahaan, dan membayar ganti rugi kepada masyarakat adat yang terdampak.
“Dari temuan lapangan atas fakta yang ada mengenai aktivitas ugal-ugalan perkebunan kayu PT Mayawana Persada, kami mengharapkan agar Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI melakukan langkah tegas dengan kewenangannya untuk mencabut izin konsesi tersebut,” tegas Hendrikus Adam, Direktur Eksekutif Walhi Kalbar, Senin (29/4/2024), usai pertemuan di Jakarta.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Satya Bumi Andi Muttaqien menyebut urgensi pencabutan izin PT MP merupakan sesuatu yang mendesak.
“Sepanjang 2022 hingga Oktober 2023 saja, seluas 14.505 hektare gambut telah dibuka dan dikeringkan. Artinya sebesar 797.775 metrik ton CO2 emisi telah dilepaskan. Potensi pembukaan hutan seluas 6.268 dalam waktu dekat ini akan melepaskan emisi sebesar 344.749 metrik ton. Inilah mengapa pencabutan izin PT MP menjadi sesuatu yang amat mendesak,” jelas Andi.
Sebelum pelaporan ini, koalisi juga telah melakukan sejumlah audiensi dengan KLHK pada Kamis (25/4/2024) dan Jumat (26/4/2024) yang dilanjutkan dengan penyampaian laporan ke Kompolnas untuk mendesak profesionalitas dan menarik aparat. Selain itu juga mengunjungi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (HAM) pada Jumat (26/4/2024) untuk meminta perlindungan dan pemulihan hak warga korban.
Audiensi tersebut membahas dan menyampaikan temuan-temuan baru kasus perusakan lingkungan, pelanggaran HAM, kriminalisasi masyarakat adat, dan dugaan keterlibatan aparat yang dilakukan oleh PT MP.
“Kepada Komnas HAM, setidaknya ada tiga materi aduan yang kami laporkan. Yakni, terkait perampasan lahan, pembakaran pondok-pondok dan lumbung padi masyarakat, dan kriminalisasi,” ungkap Ketua Link-Ar Borneo Ahmad Syukri.
Salah satu perwakilan masyarakat adat Kualan Hilir, Ketapang, Tarsisius Fendi Susepi yang ikut hadir mengaku sampai saat ini sudah mendapat 19 kali pemanggilan kepolisian.
“Kami di sini mengalami intimidasi dari pihak perusahaan melalui aparat. Kami lihat memang hukum tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Kami berharap bisa dapat bertemu dengan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya agar segera menyelesaikan persoalan Mayawana Persada,” tegas Fendi.
Sayangnya, tiga kali upaya perwakilan warga dan koalisi menemui Menteri LHK Siti Nurbaya tak kunjung membuahkan hasil.
Pada 28 Maret 2024, KLHK sebenarnya telah mengeluarkan surat penghentian aktivitas kepada PT MP. Dalam surat tersebut, PT MP diminta menghentikan segala aktivitas penebangan pada areal bekas tebangan atau logged over area (LOA) dan memfokuskan kegiatan pada penanaman antara lain pada lahan kosong, semak belukar, tanah terbuka, dan kegiatan pemulihan lingkungan.
Seolah tak menggubris perintah KLHK, PT MP justru terpantau masih terus beroperasi hingga saat ini. Bahkan PT MP diketahui membuka lahan di Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG) Sungai Durian-Sungai Kualan dengan nilai konservasi tinggi (NKT), yang merupakan habitat orangutan dan lahan gambut kaya karbon.
Tidak hanya merusak hutan dan lahan gambut, PT MP juga telah menghancurkan habitat berbagai spesies dan memutus jalur perjalanan satwa. Ironis ketika tujuan mendatang devisa dan pendapatan bagi negara dan daerah harus dibayar dengan biaya ekologis yang sangat mahal bahkan mungkin saja tak terkirakan.
Kehadiran PT MP juga telah menyebabkan timbulnya konflik sosial dan melanggar hak-hak masyarakat di sekitar konsesi. Perusahaan tersebut telah secara nyata mengabaikan fakta bahwa tanah dan wilayah yang menjadi areal izin berusaha perusahaan merupakan wilayah, tanah, dan hutan yang telah dikuasai dan dimanfaatkan oleh Masyarakat Adat Kalimantan (Dayak) secara turun-temurun sebagai tempat hidup dan sumber penghidupan masyarakat.
Praktik buruk PT MP sebagai korporasi yang membabat hutan alam tidak dapat dibiarkan begitu saja dan harus diungkap kepada publik, terutama di tengah gembar-gembor pemerintah atas klaim penurunan angka deforestasi, yang masyarakat sipil saksikan justru berkebalikan dengan fakta yang terjadi di lapangan.*