WOW… snack dikemas dalam takir daun pisang. Sudah jarang dijumpai di era sekarang, jajanan tradisional tersaji di atas nampan. Nagasari, lepat ubi lapis, bakwan, risoles, serta pisang goreng mengisi takir-takir dan siap dinikmati.
Para peserta journalist camp menikmati beragam olahan kue-kue yang dikemas dalam wadah daun pisang. Tiga hari kegiatan, tidak ada kemasan plastik yang digunakan dalam penyajian makanan, termasuk minuman. Cangkir-cangkir tempo dulu menjadi wadah penyaji kopi dan teh. Kembali ke alam dan menumbuhkan empati kita pada lingkungan.
Merasa bersyukur, kami dari Serikat Pekka Kubu Raya dan Serikat Pekka Sanggau dilibatkan dalam kegiatan di Rumah Budaya Kampung Caping Pontianak Kalimantan Barat, pada 22-24 Agustus 2025.
Kami berdua (Karmani dan Harmiati) berbaur bersama para peserta yang sebagian besar adalah anak muda dan mahasiswa, serta banyak teman jurnalis dari berbagai daerah, seperti Ketapang, Kapuas Hulu, Pontianak dll, serta kawan-kawan dari berbagai komunitas ikut meramaikannya. Tidur ditenda baru kali ini diusia 50 tahun.
Awalnya saya merasa peserta paling tua, sebab kulihat peserta di grup WA berusia remaja/muda/mahasiswa. “Maaf mbak Kho saya tak jadi ikut di acara Journalist Camp”, pesan WhatsApp kukirimkan pada pendamping lapang wilayah Kalbar.
Beliau kemudian mengontak dan berkata: “Sayang mbak kalau tak ikut, nanti di sana akan bertemu dengan banyak jurnalis dan ada bunda juga,” Mbak Kho menguatkan agar aku tidak merasa minder menjadi peserta paling tua.
Akhirnya aku berangkat dihari yang telah dijadwalkan, meninggalkan hamparan padi yang sebenarnya harus dijaga dari serangan burung pipit yang mewabah di musim penghujan.
Banyak hal yang mengubahku semenjak aku bergabung di organisasi Pekka ini. Aku menjadi berani mengambil keputusan. Tidak mementingkan kepentingan pribadi dan rela berkorban.
Berangkat di tengah derasnya hujan, menuju Kampung Caping yang kucari keberadabannya di Google Map sehari sebelumnya, walau aku sering melewati Kota Pontianak namun keberadaan tempat kegiatan ini belum kuketahui.
Senang rasanya karena sudah ada Harmiati dan Mbak Kho di lokasi, bercerita sedikit tentang hujan dan basah di badan. Kami mengobrol santai dan ada juga ketua penyelenggara kegiatan yaitu Bang Rizal dari Yayasan Kolase.
Dari beliau kami tahu kalau kegiatan akan dibuka malam hari pukul 19.30 WIB oleh Wali Kota Pontianak yang dihadiri 100 peserta.
Dalam gelar saprahan, terlihat kental budaya yang dilestarikan. Tidak ada bahan plastik yang akan menjadi sampah digunakan dalam penyajian menu makan malam itu. “Kembali ke budaya leluhur dan itu keren”. Mengajarkan kepada kami semua yang hadir untuk berempati terhadap sampah yang berakibat pada kerusakan ekosistem di alam.
Melihat pameran foto yang digelar di tepian Sungai Kapuas, tepatnya di depan Rumah Budaya Kampung Caping ini, terlihat satu foto yang memperlihatkan bagaimana sampah di tempat pembuangan akhir Kota Pontianak, mengerikan dan menakutkan.
Tumbuh rasa dan semangat dalam diri akan menceritakan pengalaman ini kepada masyarakat, teman, saudara, komunitas/kelompok, bahwa alam telah menyediakan kita fasilitas yang aman dan berkelanjutan. Contohnya daun pisang. Bukankah kita bisa kembali menjadikannya sebagai bungkus kemasan kue dan lainnya seperti dahulu orang tua mengajarkan?
Gelar bakti sosial di hari terakhir, yaitu membersihkan dan mengumpulkan sampah di tepian Sungai Kapuas oleh semua peserta. Empat perahu karet dipersiapkan panitia untuk mengumpulkan sampah di sungai, dan beberapa peserta lagi membersihkan dan mengumpulkan sampah di tiga gang di sekitaran lokasi. Sangat mengejutkan, sampah yang dapat kami kumpulkan sebanyak 3 unit dump truck.
“Sampah ini dibawa oleh angin dan aliran sungai, dan masyarakat tidak sadar akan sampah plastik, membuangnya sembarangan. Sampah ini bukan dari warga kampung Caping,” demikian dikatakan salah satu panitia kepada kami sambil kami melakukan kerja bakti bersih sampah.
Aku hampir termuntah-muntah mengumpulkan sampah pempes dan sekeranjang kami angkat berdua mendekati truk dengan beban 28 kilogram satu keranjangnya. Pantesan berat,” kataku kepada teman se-tim.
Workshop Motivasi Bersama Ashoka
“Sekarang semua buat satu gambar yang memotivasi dan ceritakan gambar kepada teman lain,” bunda Nani Zulminarni Direktur Ashoka Asia Tenggara meminta kepada peserta yang hadir dalam kegiatan Journalist Camp di Rumah Budaya Kampung Caping Kota Pontianak pada 22 – 24 Agustus 2025.

Di hari ke tiga ini, peserta dibagi dalam dua sesi, dan kami ada di sesi bersama Ashoka yang hampir semua pesertanya adalah anak muda.
“Saya menggambarkan sepeda ini, karena teringat dahulu saat sekolah SD, jarak sekolah jauh dari rumah dan jalan tanah semak oleh rerumputan, bersepeda, dan saya dibonceng kakak yang postur badannya lebih kecil dari saya,” kenang seorang peserta dari Serikat Pekka Kubu Raya.
Ukuran sepedanya pun lebih besar dari mereka berdua dengan pedal tanpa alas. Hanya tatakan besi pada pedal yang mana pedal sering kali melukai kaki kakaknya hingga berdarah. Tubuhnya yang kecil tidak menjejak hingga sedel sepeda. Dia pasti lelah namun tak punya pilihan.
“Bu guru di sekolah mengobati lukanya dan diperban. Saya sangat sedih, dan berjanji pada diri: tangan ini harus kuat agar bisa naik sepeda sama dengan lainnya, dan saya tidak boleh menjadi beban siapapun. Semangat itu tumbuh dan saya bisa seperti sekarang, sama dengan yang lain, yang ada di sini bersama kalian,” kenang peserta tadi.
Dalam pandangan Bunda Nani, dunia terus berubah dan kita harus membuat perubahan ke arah yang lebih baik. “Harus ada upaya menumbuhkan rasa empati, memiliki jiwa kepemimpinan, mau bekerja sama atau berkolaborasi dan dapat membuat perubahan,” begitu Bunda Nani membekali anak-anak muda yang hadir untuk menjadi Pembaharu.*