Kolase.id – Rencana pemerintah untuk membangun Ibu Kota Negara(IKN) Nusantara di Wilayah Penajam Paser Utara Kalimantan Timur terus melaju. Pengangkatan Bambang Susantono sebagai Kepala Badan Otorita IKN Nusantara oleh Joko Widodo hanyalah upaya untuk memuluskan agenda oligarki semata.
Bambang Susantono merupakan mantan Wakil Menteri Perhubungan dan pernah menjabat sebagai Deputi Menko Perekonomian bagian Koordinasi Infrastruktur dan Pengembangan Wilayah pada 2007 hingga 2010. Selepas menjabat Wakil Menteri Perhubungan ia dipercaya menjabat sebagai Vice President Asian Development Bank.
Konflik kepentingan pembangunan IKN Nusantara diduga semakin menguat setelah melihat penunjukan Dhony Rahajoe sebagai Wakil Kepala Badan Otorita IKN yang sebelumnya punya jejak sebagai petinggi di Sinar Mas. Perusahaan kakap ini memiliki aset-aset penting di Provinsi Kaltim di antaranya PT. Berau Coal, Hotel Golden Tulip, Perumahan Grand City.
Camping super mewah yang dilakukan oleh Presiden Jokowi dengan mengundang orang-orang dari luar Kalimantan Timur hanyalah tipu-tipu di tengah kondisi kelangkaan minyak goreng yang dialami oleh masyarakat Indonesia dan juga kenaikan harga berbagai kebutuhan dasar masyarakat. Belum lagi simbolisme membawa air dari berbagai provinsi di Indonesia yang hanya jadi pemanis di tengah krisis air bersih di Kalimantan Timur.
Saat ini, kondisi beberapa sungai di Kalimantan Timur seperti Sungai Bengalon, Sungai Sangatta, Sungai Santan, Sungai Malinau, Sungai Kendilo, Sungai Mahakam, Sungai Dondang, Sungai Kedang Kepala, dan Sungai Kayan, Sungai Kelinjau telah rusak dan tercemar akibat keberadaan industri tambang, sawit, dan kehutanan.
Jokowi sebagai Presiden dan Gubernur tidak bisa menyelamatkan sungai ini. Krisis semacam ini tidak hanya terjadi di Kalimantan Timur, tetapi juga di berbagai wilayah yang mengalami degradasi dan kerusakan lingkungan karena operasi industri ekstraktif.
Berbagai kelompok masyarakat sipil telah berkali-kali menyampaikan catatan terkait lokasi IKN antara lain lokasi pemilihan IKN Nusantara yang bukan lahan kosong. Di lokasi ini telah tinggal penduduk yang akan menerima dampak buruk dari pembangunan IKN. Berdasarkan data ATR /BPN tahun 2020, dari 256 ribu hektar luas IKN, sebanyak 106.453 hektar atau 41,32 persen tanah dikuasai oleh masyarakat.
Pembangunan IKN di atas lahan konsesi oligarki pun patut dicurigai sarat kepentingan. Beberapa nama pemilik konsesi terhubung dan dekat dengan pemerintahan Jokowi antara lain Luhut Binsar Panjaitan, menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi.
Ada 2 konsesi perusahaan Luhut yang berada di dalam lokasi IKN yakni PT Kutai Energi I dan PT Perkebunan Kaltim Utama I. Nama lain pemilik konsesi di IKN yakni Sukanto Tanoto, pemilik Grup Royal Golden Eagle International (GREI) sebagai pemilik konsesi PT IHM di bawah bendera APRIL, Hashim Djojohadikusumo dengan perusahaan PT IKU di bawah ARSARI Group.
Keberadaan IKN Nusantara akan memunculkan efek domino di sejumlah wilayah demi menunjang mega proyek oligarki ini. Proyek pembangunan PLTA Kayan dari lima bendungan yang menghasilkan 9.000 MW untuk memasok listrik IKN menjadikan dua kampung di Kabupaten Kayan dipaksa tenggelam yakni desa Long Lejuh dan Desa Long Peleben. Akibatnya sebanyak 150 keluarga dipaksa mengungsi dari tanah kelahirannya.
Dampak proyek IKN tidak hanya dirasakan oleh masyarakat Kalimantan Timur. Jutaan metrik ton batu palu dipasok untuk menopang gedung-gedung perkantoran IKN yang diseberangkan dari Sulawesi Tengah. Begitu juga nikel untuk menunjang kendaraan listrik di IKN, materialnya dimobilisasi dari sejumlah tambang yang tersebar di Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara. Limbah tambang dari pembongkaran bahan baku untuk baterai ini akan meracuni pesisir pulau-pulau kecil di Kabupaten Konawe Kepulauan dan Kabupaten Morowali.
Saat ini, di lokasi IKN terdapat 149 lubang tambang yang masih menganga seluas 256 ribu hektar. Lubang tambang ini sebagian besar disebabkan oleh operasi 25 perusahaan tambang.
Selain sarat akan konflik kepentingan, masyarakat sipil dan akademisi juga berulang kali mengingatkan bahwa lokasi IKN rawan terhadap bencana akibat eksploitasi ratusan izin seperti pertambangan, perkebunan, maupun kehutanan di Kalimantan. Keberadaan mega proyek IKN ini tentu akan memperparah banjir dan longsor yang kerap menghancurkan Kalimantan.
Demi kelancaran proyek oligarki, pemerintah mengabaikan ruang hidup masyarakat adat. Tidak ada ruang berpendapat bagi komunitas adat atas pembangunan IKN.
Atas dasar itu, maka kami memandang bahwa upaya-upaya pembentukan Ibu Kota Negara di Penajam Paser Utara Kalimantan Timur hanyalah proyek oligarki untuk memperoleh keuntungan yang besar bagi segelintir orang. Hal ini berbanding terbalik dengan kondisi masyarakat yang terancam bahaya akibat keberadaan mega proyek tersebut.
Atas dasar itu, kami kelompok masyarakat sipil menyatakan:
- Batalkan Rencana Pemindahan Ibu Kota Negara, alihkan dukungan pembiayaannya ke program layanan dasar rakyat.
- Mengecam tindakan pemerintah yang melakukan kemah super mewah di sepaku serta parade MotoGP di saat negara sedang tidak punya uang. Pemerintah seharusnya serius mengatasi kelangkaan minyak goreng yang berdampak pada aktivitas pangan warganya dan mengatasi penyebaran Covid-19.
- Menuntut pemerintahan Jokowi untuk mencabut UU IKN karena cacat prosedural. Pembentukan aturan ini sangat tidak partisipatif dan dipaksakan.
Pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) bukan hanya tidak partisipatif terhadap warga terdampak, tetapi juga tidak ada keterbukaan informasi kepada masyarakat dan penuh konflik kepentingan. Pemindahan IKN ini justru kian menunjukkan keberpihakan pemerintah yang terus memberi untung kepada oligarki di tengah situasi krisis masyarakat.*
Sumber Berita: Siaran Pers Bersihkan Indonesia (bersihkanindonesia@protonmail.com)