SEPANJANG sejarah, banyak peradaban besar dunia lahir di tepian sungai. Mesopotamia berkembang di antara Tigris dan Efrat, Mesir kuno menata hidupnya di Sungai Nil, Lembah Indus membangun kota-kota terencana di tepi Sungai Indus, sementara Tiongkok kuno mekar di sepanjang Sungai Kuning dan Yangtze.
Sungai-sungai itu menyediakan air, pangan, jalur transportasi, dan lahan subur—menjadi nadi bagi pertumbuhan sosial, ekonomi, dan budaya. Dari sejarah tersebut, terlihat bahwa sungai bukan sekadar sumber kehidupan, tetapi juga panggung bagi kolaborasi masyarakat yang memungkinkan terciptanya peradaban besar dan berkelanjutan.
Di Kalimantan Barat, Sungai Kapuas, sungai terpanjang di Indonesia sepanjang 1.143 km, yang mengalir dari Pegunungan Muller di Kalimantan bagian tengah hingga bermuara di sebelah barat Kota Pontianak, menawarkan peluang serupa. Sejarah Kota Pontianak juga diawali di tepian Sungai Kapuas, dibangun oleh pendirinya, Sultan Syarif Abdurrahman Alqadrie.
Tepian sungai bukan hanya tempat bermukim, tetapi juga arena nyata untuk belajar bekerja bersama, menjaga lingkungan, dan membangun masyarakat yang mandiri dan berdaya. Semangat kolaborasi ini menjadi inti dari Kolase Journalist Camp 2025, yang digelar di Rumah Budaya Kampung Caping, Pontianak, pada 22–24 Agustus 2025.
Kegiatan ini merupakan pelaksanaan kedua, setelah edisi pertama pada 2024 di Kubu Raya, dan mengusung tema “Ragam Hayati Kekuatan Kita”. Tepian sungai menjadi panggung di mana jurnalis, kreator konten, akademisi, mahasiswa, masyarakat sipil, penggiat olahraga arung jeram, penggiat lingkungan lintas iman, pengelola sampah komunitas, pemerintah, LSM, dan donor—berbagai pihak dengan latar belakang berbeda—bergerak bersama, saling melengkapi, tanpa hierarki yang kaku.
Bayangkan segelas jus buah campur: ada mangga yang manis, apel yang segar, pepaya yang lembut, jeruk yang ceria, pisang yang kental, dan buah naga yang merah meriah. Masing-masing memiliki karakter berbeda, namun ketika dicampur, tercipta harmoni rasa yang seimbang, menyegarkan, dan kaya warna.
Begitulah kolaborasi yang terjadi selama tiga hari kegiatan: semua pihak menaruh kemampuan dan energi masing-masing untuk mencapai tujuan bersama. Dana yang disumbang, narasumber yang hadir, perahu karet untuk bersih sungai, truk dari PU untuk mengangkut sampah, logistik di belakang layar, jagung yang dibakar untuk dinikmati peserta, tenda yang didirikan di rumah budaya—semua elemen itu bersatu, menghasilkan “rasa” kolaborasi yang utuh dan hidup.
Kegiatan ini dirancang untuk melatih peserta agar mampu merancang kampanye media digital yang efektif untuk isu ragam hayati, dari perspektif ekonomi, sosial budaya, dan lingkungan.
Selain itu, peserta belajar memanfaatkan media digital sebagai alat untuk meningkatkan kesadaran publik, memobilisasi dukungan, dan menyampaikan pesan yang kuat dengan cara yang edukatif, bukan sekadar viral.
Dari kegiatan ini diharapkan lahir karya media yang menggugah, kampanye digital yang menjangkau luas, dan rekomendasi gerakan kolaboratif yang nyata—sebuah fondasi untuk membangun masyarakat tepian sungai yang peduli, mandiri, dan bermartabat.
Kolase Journalist Camp baru saja usai, namun kerja kolaborasi tentu saja belum selesai—justru baru saja dimulai. Semangat dan energi yang tercipta selama tiga hari ini menjadi pengingat bahwa kolaborasi bukan sekadar pilihan, tapi kunci untuk merawat negeri, menjaga keragaman hayati, dan membangun peradaban masyarakat yang berdaya di tepian Sungai Kapuas.
Seperti jus buah campur dan peradaban besar di tepian sungai, semua pihak memiliki peran, dan ketika bergerak bersama, hasilnya lebih kaya, lebih kuat, dan lebih berkelanjutan.*