Kolase.id – Terik matahari tak menyurutkan langkahnya untuk hadir di Demplot Pertanian Organik Terpadu Desa Kelakar, Kecamatan Hulu Gurung, Kapuas Hulu, Kamis (14/10/2021). Demplot ini dibangun atas kerja sama Yayasan WWF Indonesia dengan Pemerintah Desa Kelakar.
Mengenakan topi dan masker hitam, Bupati Kapuas Hulu Fransiskus Diaan berjalan kaki sejauh 500 meter. Di demplot seluas dua hektar itu, dia menandatangani prasasti. Inilah bentuk dukungan Pemerintah Kabupaten Kapuas Hulu terhadap rencana pembangunan ekonomi hijau di Hulu Gurung dan Pengkadan.
Sejumlah pimpinan Organisasi Perangkat Daerah (OPD) dan wakil rakyat dari Fraksi PPP DPRD Kapuas Hulu turut hadir. Termasuk unsur Musyawarah Pimpinan Kecamatan (Muspika) Hulu Gurung dan Pengkadan serta para kepala desa. Kehadiran bupati yang akrab disapa Sis ini juga mengundang perhatian warga.
Seperti apa perbawa sosok yang kini didapuk sebagai orang terkuat di Kapuas Hulu ini. Tim Redaksi Kolase melakukan penelusuran jejak digital sejak 2015 hingga pengujung 2021. Bagaimana sebenarnya sosok Fransiskus Diaan di mata keluarga dan para kerabatnya?
“Sis itu orangnya pendiam, tetapi cukup romantis. Karena sifat pendiamnya itulah, tak banyak orang yang tahu apa maunya. Pada momen-momen tertentu, tiba-tiba saja dia bikin surprise,” kata Angelina Fremalco dalam sebuah wawancara khusus di kediaman pribadinya, di Gang Pak Majid 1, Jalan Danau Sentarum Pontianak, akhir Maret 2015 silam.
Angelina Fremalco adalah istri Fransiskus Diaan, perempuan kuat yang selama ini bercokol di balik perjalanan karier sang suami.
Di mata keluarga, Sis adalah figur yang sangat bertanggung jawab, penyayang, dan sangat dekat dengan ketiga buah hatinya. Bukan hal aneh jika dia tetap meluangkan waktu buat mereka. Berwisata ke suatu tempat, sekadar merajut kebersamaan dengan anak dan istri.
Sis dikenal sebagai sosok mini kata. Pria usia 41 tahun ini lebih banyak bekerja daripada bicara. Jika ada sesuatu yang hendak ia gapai, di situ akan terlihat kegigihannya. Teguh dalam sikap dan keyakinan.
Hal itu tercermin pula dari dua dunia yang kini tengah digelutinya. Sebagai seorang pengusaha dan politisi. Pertautan dua dunia inilah yang menempa dirinya menjadi kukuh dalam sikap, tetapi tetap luwes dalam pergaulan sehari-hari.
Angel punya cerita tentang Sis semasa masih duduk di bangku kuliah. “Dia kakak tingkat saya. Saya angkatan 2001 di Fakultas Hukum Untan, sedangkan Sis angkatan 2000,” katanya.
Keduanya mulai berkenalan di salah satu organisasi Katolik. Namanya Ikatan Mahasiswa Katolik (Imka) Pijar Fakultas Hukum Untan. Seperti biasa terjadi di kampus, mahasiswa baru biasanya dikumpulkan oleh para senior. Salah satu senior di Imka Pijar adalah Sis. Di situlah awal perkenalan keduanya, kendati tak langsung dekat begitu saja.
“Sis itu pendiam. Kalau ada pertemuan dia cuma sebatas tersenyum dan lihat-lihat saya. Menegur juga nggak. Jadi, saya gimana ya, hanya berusaha untuk tahu saja. Jadi, emang gerakan pertama dari saya kok, bukan dia,” ungkap Angel.
Seiring waktu berjalan, keduanya pun resmi pacaran. Angel baru masuk semester tiga, sedangkan Sis di semester lima. Masa pacaran ditempuh selama tiga tahun. Setelah menyelesaikan kuliah, akhirnya keduanya memasuki masa pertunangan.
Waktu itu, kata Angel, Sis sudah menyelesaikan kuliahnya, sedang dia sendiri baru menyusun skripsi. Tiba-tiba Sis dipanggil sama Bapak (Cornelis) ke rumah. Sis mulai deg-degan duluan.
Ternyata betul, orang tua Angel, kala itu menjabat sebagai Bupati Landak periode pertama langsung minta Sis membawa serta orang tuanya. “Jadi kamu tak usah main-main lagi. Seriusi saja,” kata Angel menirukan pernyataan ayahnya.
Akhirnya, orang tua Sis pun turun dari pedalaman Mendalam, Kapuas Hulu, dan bertemu sang calon besan.
Memang, kata Angel, ayahnya yang berinisiatif memanggil Sis untuk bertunangan, sekaligus menentukan tanggal pernikahan. Setelah dihitung-hitung, masa pacaran kala itu genap berusia tiga tahun, tiga bulan, dan tiga hari. Tetapi, semua itu tak ada unsur kesengajaan. Sebab, yang memilih tanggal pertunangan juga adalah orang tua.
Jadi, kata Angel, selama pacaran itu kita sudah bolak-balik ke rumah. “Dari awal juga saya tak pernah menutup-nutupi pacar saya siapa. Saya sering bawa dia ke rumah, dan sudah mengenalkan dengan keluarga besar,” ucapnya.
Soal problematika dalam rumah tangga, Angel menjelaskan semua berjalan semut-semut saja. Kendati mereka menikah dalam usia yang relatif muda. Angel 22 tahun, dan Sis 24 tahun. Di mata Angel, Sis dinilai lebih sabar menghadapi berbagai persoalan hidup.
Tetapi Angel bersyukur, sejak menikah sampai sekarang tidak ada hal besar yang mereka hadapi. “Mungkin karena kita sudah kenal sangat lama. Intinya, dia orangnya sabar. Kalau menghadapi masalah, dia diam dulu. Kadang, kalau saya marah, dia diam saja. Dia lebih dewasa dari umurnya,” puji Angel.
Kalau tradisi dalam rumah tangga, Angel mengakui tidak ada hal istimewa. Makan, minum biasa saja. Menyesuaikan dengan kondisi. Namun demikian, sesibuk apapun Sis, harus ada waktu buat mencurahkan kasih sayang kepada ketiga anak-anaknya. Paling tidak mengajak mereka liburan ke satu tempat. Tidak harus jauh. Kadang-kadang malah pulang kampung. Tetap selalu ada waktu buat mereka.
***
Di mata kawan-kawannya, Sis dikenal sebagai sosok yang setia kawan, petarung, dan tak mudah menyerah. “Dia sahabat yang setia. Kepribadiannya tak pernah berubah, dari dulu sampai sekarang,” kata Kuntjoro Wahyu Djati.
Wahyu, sapaan akrabnya, sudah mengenal Sis sejak 21 tahun yang silam. Ini bukan waktu yang singkat. Bahkan, dia sudah mengenalnya sejak masih kuliah di semester pertama.
Menurut pengakuannya, hal yang paling berkesan selama di kampus bersama Sis adalah simbol kesetiakawanan. Dia juga terbilang petarung. Tak mudah menyerah jika ingin menggapai sesuatu.
Ketika masih sama-sama di kampus, kenang Wahyu, kami berdua ini memulai dari nol. Malam Minggu jalan kaki beli nasi goreng. Saat itu Angel belum hadir dalam kehidupan Sis. “Kami pernah sama-sama tak punya apa-apa,” ucapnya.
Bahkan, kami pernah sama-sama tak punya kiriman. Akibatnya, celengan pun terpaksa dipecahkan demi mempertahankan hidup. Hasilnya langsung dibelikan mi instan sebanyak dua dus. Sedangkan hal lain, semua berjalan alamiah saja, laiknya anak-anak kost kebanyakan.
Sis terbilang sangat aktif dalam kegiatan-kegiatan kampus. Baik dalam penyambutan mahasiswa baru maupun bidang kerohanian. Sis salah satu pelopor penyelenggaraan aktivitas sosial di kampus untuk ke luar daerah. Sosialisasi di kampung, pengenalan, dan membantu membangun gereja.
Akhirnya, kata Wahyu, Sis duluan menyelesaikan studinya di kampus. “Belakangan saya pun selesai dan tetap berteman sama Sis sampai sekarang. Intinya kebersamaan dalam segala kondisi. Baik susah maupun senang,” kuncinya.
***
Ada pepatah yang menyebut air tenang itu biasanya menghanyutkan. Sepertinya, petuah ini menemukan komparasinya dalam diri Fransiskus Diaan. Tenang, namun tetap mengalir.
Perbawa lelaki 41 tahun itu memang sejuk. Lahir di lingkungan keluarga sederhana nun jauh di Desa Datah Diaan, Kecamatan Putussibau Utara, Kabupaten Kapuas Hulu, Sis tumbuh laiknya anak-anak di kampung. Tak ada sesuatu yang istimewa. Main bersama kawan-kawan sebaya, apa adanya.
Hal yang paling sulit terlupakan adalah permainan bola kaki dengan menggunakan jeruk Bali. Suasana di kampung yang jauh dari kota selalu melahirkan kreasi bagi anak-anak pedalaman. Tak ada bola kaki, jeruk Bali pun jadi.
Tak jarang Sis kecil dimarahi orang tuanya jika mandi bersama teman sebaya di Sungai Mendalam. Perilaku seperti ini jamak terjadi di kalangan anak-anak. Namun Sis, ketika sudah berhadapan dengan sungai, kadang lupa pulang. Inilah yang membuat ayahnya, Alexander Mering (69 tahun) berang.
“Kalau dia sudah mandi di sungai, pasti lupa pulang. Kita sebagai orang tua kadang khawatir. Makanya saya marah kalau dia tak mau pulang. Siapa yang tahu bahaya di sungai,” kata Mering.
Namun demikian, Sis terbilang sukses meniti dunia pendidikan tanpa rintangan yang berarti. Dia menempuh pendidikan formal di bangku SD Tanjung Durian. Belakangan, nama Tanjung Durian berubah menjadi Desa Datah Diaan.
Lolos dari bangku sekolah dasar pada 1993, Sis kemudian melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi. Pilihan jatuh ke SMP Tanjung Kuda yang terletak di Datah Kayaan. Pada 1996, Sis berhasil menyelesaikan pendidikannya dan bertekad meneruskan ke SMA Karya Budi, di Putussibau.
Mering mengakui anak keduanya ini lumayan bagus dalam dunia pendidikan. Bahkan, ketika masuk kuliah di Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura, Sis langsung lolos tanpa tes. Sis juga menjalani masa kuliah hanya tiga tahun lebih dan sukses meraih gelar sebagai sarjana hukum.
Sejak kecil, kata Mering, Sis terbilang pendiam. Namun dia sangat aktif bergaul dengan kawannya. Dia tumbuh di kampung seperti anak-anak lainnya. Jalan ke mana-mana, bersenda gurau dengan teman sebaya.
Selain bermain, ternyata Sis juga doyan memancing ikan. Dia tak takut mendayung sampan sendiri hanya untuk mencari ikan di sungai. “Maklum kalau di kampung mau ke mana-mana musti pakai sampan,” kata Mering.
Soal makan, dia bukan orang yang suka pilih-pilih makanan. Sis makan apa saja yang ada di kampung. Buah-buahan dia makan semua. Durian, kelotok, macam-macamlah.
Satu hal yang membedakan dari dua saudaranya adalah, Sis gemar membaca buku pelajaran. Tidak heran di sekolah dia dapat posisi jawara. Paling tidak selalu masuk ranking 10 besar.
Sikap dia terhadap orang tua juga penurut. Ini juga diakui ibundanya, Pilipang Ping. “Kadang kita sebagai orang tua tahu dia menghendaki sesuatu, tapi kita tak turuti. Maka sikapnya diam saja,” katanya.
Kisah kecil Sis juga diutarakan abangnya, Nabertus Lasah. Di mata sang kakak, Sis adalah sosok yang penuh dengan semangat. “Kebanyakan orang kampung kerja sebagai petani ladang dan menoreh karet. Kadang dia juga ikut noreh bersama kakek,” katanya.
Menurutnya, kondisi ekonomi keluarga kala itu terbilang sederhana. Kebun karetlah yang bisa menopang hidup keluarga. Sis tak pernah merasa gengsi belajar sama orang, termasuk tetangga.
“Pokoknya tak peduli tempat. Sis mau belajar di mana saja, termasuk di penggilingan padi milik tetangga. Dia tipe seorang pekerja. Tak peduli dengan keadaan,” ucap Lasah.
Begitu pun dengan kawan-kawannya, dia sangat setia. Apalagi dengan saudara, hampir tak pernah selisih paham. Baik dengan Lasah, maupun dengan adiknya, Yeremias Hingaa. Dia sangat jarang berselisih dengan kawan-kawannya.
Kalau pun berselisih, kata Lasah, biasanya hanya gara-gara berebut makanan, kue, dan sebagainya. “Nah, yang paling sering selisih itu soal pakaian. Pakaian kami tak boleh beda. Harus sama dengan saudaranya. Dan Sis harus lebih dulu dibelikan. Terpaksa saya pun sebagai abang mengalah. Kalau berkeras, kami bisa kelahi,” kata Lasah tersenyum.
Jalan panjang dan berliku yang sudah ditempuh Sis inilah yang membuat kedua orang tua dan saudara-saudaranya bangga. “Sebenarnya saya mau melihat Sis ke depan bisa kembali ke kampung halamannya. Saya kira inilah saat yang tepat bagi Sis untuk membangun kampung halamannya,” kata Alexander Mering.
Impian orang tua Sis ini pun terwujud. Kini, Sang Putra Mendalam telah menakhodai Kapuas Hulu. Fransiskus Diaan duduk di tampuk kepemimpinan pemerintahan Kapuas Hulu melalui kontestasi politik.*