FSC Indonesia Bahas Mekanisme Penilaian Independen untuk Pemulihan Sosial Lingkungan

Penilaian independen tidak hanya berorientasi pada pemulihan ekosistem, tetapi juga pemulihan hubungan antara perusahaan dan masyarakat lokal yang selama ini kerap terputus akibat konflik dan ketimpangan informasi

Avatar
Diskusi dan curah pendapat terkait upaya mendorong implementasi remedy framework untuk pemulihan lingkungan dan sosial di Kalimantan yang dihelat di Haruna Cafe 3.0 Pontianak, Senin (6/10/2025). Foto: Edho Sinaga/Kolase.id

Kolase.id – Lebih dari sepuluh organisasi masyarakat sipil (CSO) di Kalimantan Barat mengikuti diskusi Independent Assessment – Faktor Kunci Kualitas Remedy Framework (RF) yang diselenggarakan Forest Stewardship Council (FSC) Indonesia bersama WWF Indonesia, Senin (6/10/ 2025), di Haruna Cafe 3.0 Pontianak.

Diskusi ini jadi bagian dari rangkaian sosialisasi Remedy Framework, panduan internasional bagi perusahaan yang memiliki catatan pelanggaran serius di sektor kehutanan untuk melakukan remediasi sosial dan lingkungan sebelum dapat kembali berasosiasi dengan FSC.

Dalam forum tersebut, Country Manager FSC Indonesia Hartono Prabowo menegaskan pentingnya proses Independent Assessment sebagai fondasi utama dalam penegakan tanggung jawab sosial dan ekologis.

“Penilaian independen memastikan proses perbaikan berjalan transparan, kredibel, dan bebas dari intervensi kepentingan perusahaan. Ini menjadi dasar keadilan bagi masyarakat yang terdampak,” ujar Hartono.

Menurut dokumen paparan yang dibagikan FSC, Independent Assessment merupakan tahap awal dari penerapan Remedy Framework yang menuntut adanya identifikasi menyeluruh terhadap area terdampak, pemegang hak, dan bentuk kerugian yang terjadi.

Proses ini mencakup dua komponen utama, yakni penilaian dasar sosial dan penilaian dasar lingkungan.

Penilaian dilakukan berdasarkan prinsip Free, Prior, and Informed Consent (FPIC), yaitu hak masyarakat adat dan komunitas lokal untuk memberikan atau menolak persetujuan atas langkah-langkah perbaikan yang akan dilakukan.

“Prinsip FPIC menjadi instrumen penting untuk memastikan masyarakat memiliki kontrol penuh terhadap proses yang menyangkut hak dan wilayah mereka,” terang Hartono.

Dalam kerangka tersebut, penilai independen harus merupakan entitas profesional yang tidak memiliki konflik kepentingan, dan kualifikasinya diverifikasi langsung oleh FSC International.

Mereka bertanggung jawab untuk mendokumentasikan kerugian sosial-lingkungan, memprioritaskan jenis kerugian yang memerlukan tindakan remediasi segera, dan menyusun Laporan Analisis Kerugian sebagai dasar penyusunan rencana perbaikan oleh perusahaan.

CSO sebagai Mitra Strategis dalam Proses Pemulihan

Kegiatan di Pontianak ini dihadiri oleh 13 organisasi masyarakat sipil yang berfokus pada isu lingkungan dan hak masyarakat, di antaranya Yayasan Point Progresif Indonesia, Earthqualizer, Yayasan Kolase, Grid, Lingkar Borneo, WALHI Kalimantan Barat, AMAN Kalimantan Barat, Gemawan, Elpagar, Yayasan Titian Lestari, Sangga Bumi Lestari, LBH Kalimantan Barat, dan Jari Indonesia Borneo Barat.

FSC menegaskan, keberadaan CSO merupakan elemen penting dalam memastikan kualitas penilaian independen. Mereka berperan sebagai pendamping masyarakat terdampak, penyedia informasi lokal, serta pengawas eksternal terhadap jalannya proses remediasi.

“Partisipasi masyarakat sipil adalah jaminan akuntabilitas publik. Mereka membantu kami menjaga agar proses remediasi tidak berhenti pada dokumen, tetapi benar-benar menyentuh persoalan di lapangan,” kata Hartono.

Para peserta diskusi membahas sejumlah isu strategis, termasuk tantangan keterbatasan data sosial dan lingkungan historis, perlunya standar konsultasi publik yang inklusif, serta mekanisme pemantauan pasca-remediasi.

Sebagian CSO menyoroti perlunya guideline teknis yang lebih rinci agar pelibatan masyarakat tidak bersifat simbolik.

Transparansi dan Akuntabilitas Publik

FSC Indonesia menegaskan komitmennya untuk menjadikan seluruh hasil Independent Assessment dapat diakses publik, termasuk peta area terdampak, laporan analisis sosial-lingkungan, serta daftar pemegang hak yang teridentifikasi.

“Kami ingin proses ini bisa diaudit secara sosial oleh publik. Transparansi adalah dasar dari kepercayaan, dan kepercayaan adalah inti dari tata kelola hutan berkelanjutan,” ujar Hartono.

Ia menambahkan penilaian independen tidak hanya berorientasi pada pemulihan ekosistem, tetapi juga pemulihan hubungan antara perusahaan dan masyarakat lokal yang selama ini kerap terputus akibat konflik dan ketimpangan informasi.

“Kami tidak hanya berbicara tentang pemulihan hutan, tetapi tentang pemulihan hak dan martabat manusia yang selama ini sering tersisih dari proses pembangunan,” ujarnya.

Kegiatan ini menjadi langkah awal bagi upaya kolaboratif antara FSC, perusahaan, dan masyarakat sipil di Kalimantan Barat. Dengan pendekatan berbasis bukti dan prinsip keterbukaan, Hartono berharap mekanisme Remedy Framework dapat menjadi model penegakan tanggung jawab sosial-lingkungan di sektor kehutanan Indonesia.*

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *