Esai: Kutukan Sumber Daya Alam Makin Dekat

SDA yang sudah mengutuki kita seharusnya membuat kita sadar agar berhenti memperdayakannya

Avatar
Bencana banjir di Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat tahun 2021. Foto: Dok. Kolase.id

DI seputar Hari Lingkungan Sedunia 5 Juni tahun ini, kita dikejutkan oleh berita tentang bagi-bagi konsesi tambang oleh pemerintah kepada lembaga keagamaan.

Tindakan hukum yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) No 25/2024 dan didasarkan pada UU No 3/2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara ini menuai pro-kontra di masyarakat. Wajar jika orang bertanya alasan teknis dan kapasitas pihak penerima konsesi. Belum lagi tingkat kesulitan usaha penambangan dan dampak yang ditimbulkan.

Perusahaan tambang profesional dan kaliber internasional saja sering menghadapi kesulitan dan belum sepenuhnya bisa mengendalikan dampak pertambangan. Bagaimana ormas keagamaan nirpengalaman tiba-tiba dapat durian runtuh?

Tidak takut kutuk?

Kata kutuk (curse), menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, berarti kesusahan atau bencana yang menimpa seseorang akibat doa atau kata-kata yang diucapkan orang lain. Karena itu, ajaran agama melarang mengucapkan kutuk atau laknat.

Dalam bukunya, Rethinking the Resource Curse, Benjamin Smith dan David Waldner menguraikan paradoks kelimpahan dalam kemiskinan.

Sebuah fenomena ketika negara dengan kelimpahan sumber daya alam (SDA), seperti minyak, gas bumi, dan mineral, tak mampu mengolahnya dengan bijaksana karena kapasitas SDM-nya rendah. Eksesnya, negara tidak demokratis dan ekonomi tidak tumbuh, bahkan lebih buruk dari negara yang tak memiliki kelimpahan SDA.

Peringatan Hari Lingkungan Sedunia 2024 yang mengambil tema ”Land Restoration, Desertification, and Drought Resilience” sangat relevan untuk jadi bahan perenungan kita. Kutukan alam bertubi-tubi akhir-akhir ini patut kita jadikan pelajaran untuk mempertimbangkan kembali tindakan kita yang salah.

Kita sering terkaget-kaget melihat angka statistik kemiskinan, langkanya lapangan kerja, dan pendapatan per kapita yang bisa diukur dengan berbagai parameter yang dapat diandalkan. Namun, kita tak pernah menyadari bahaya kemiskinan nalar, daya pikir, dan kapasitas manusia Indonesia.

Kelimpahan SDA akan terus-menerus meninabobokkan kita sehingga kita lupa memintarkan anak-anak kita. Apa tak takut, di 2045, saat Indonesia seharusnya memasuki zaman keemasan, anak-anak kita jadi pekerja anak-anak bangsa lain yang lebih pintar, santun, dan canggih mengelola SDA? Itulah ”kutuk” yang harus kita takuti.

Karena ulah kita, kejadian bencana yang memilukan masyarakat sudah dekat dan makin banyak. Sementara itu, daya tahan (resilience) kita kian menurun. SDA yang sudah mengutuki kita seharusnya membuat kita sadar agar berhenti memperdayakannya.

Menyerempet bahaya

Bung Karno yang hari lahirnya kita ingat betul, sehari setelah Hari Lingkungan Sedunia, pada 1964 memberi judul pidato tahunannya yang selalu terkenal, ”Tavip”, Tahun Vivere pericoloso. Beliau memilih sebuah frasa bahasa Italia yang artinya ”hidup yang dekat berbahaya” atau ”hidup menyerempet bahaya”. Meski konteksnya berbeda, ternyata tahun 1965 terjadi G30S/PKI yang berujung pada berakhirnya pemerintahan Orde Lama.

Sambil terus mendoakan yang terbaik untuk pemerintahan baru yang akan dibentuk, para penggawa negara tidak perlu segan atau malu melakukan koreksi. Mereka perlu berdialog dengan masyarakat luas sebelum menyesal. Keuntungan triliunan rupiah dari penambangan perut bumi pertiwi tidak akan seimbang dengan biaya pemulihan kerusakan.

Belum lagi korban jiwa yang melayang percuma. Terlebih berkah generasi mendatang yang sudah kita habiskan sekarang saat kita belum bisa bertanggung jawab untuk mereka.

Tak pelak lagi, Ben Smith dan David Waldner selanjutnya juga mengungkap bahwa kutukan sumber daya adalah kutukan politik sumber daya. Pemanfaatan SDA yang kelihatannya demokratis terkait dengan agenda politik tertentu.

Dengan kata lain, format bagi-bagi lewat PP No 25/2024 perlu dicermati motivasinya. Apa yang salah dengan penyertaan dana swasta lewat corporate social responsibility (CSR)? Sambil menghindari pencemaran lembaga keagamaan, CSR bisa dievaluasi dan disempurnakan penggunaannya untuk kemaslahatan umat sesuai marwah lembaga keagamaan.

Generasi muda, termasuk generasi muda keagamaan, harus tetap kritis dan pintar (smart) meski tak harus menjadi kaya secara mendadak atau instan.

Orang tua harus mempersiapkan mereka dengan penuh tanggung jawab. Tidak membelenggu mereka. Masa depan mereka yang sangat kompetitif tidak tertambat di belakang. Apalagi, interes politik generasi saat ini. Tentu saja, janganlah kita mengucapkan kutuk. Tetapi, juga janganlah kita kena kutuk SDA yang makin dekat dan kuat. Mari bertobat.*

———

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *