MENJELANG 17 Agustus, jalanan ramai dihiasi Merah Putih. Tiang-tiang berdiri tegak di depan rumah, sekolah, kantor, hingga di perbatasan negeri. Tetapi di luar seremoni formal itu, kita menyaksikan pemandangan lain yang makin sering muncul, terutama di kalangan muda: bendera One Piece berkibar di konser musik, festival komunitas, bahkan di lapangan olahraga. Kadang lebih tinggi dari sang Merah Putih.
Tengkorak bertopi jerami—simbol bajak laut fiksi asal Jepang—berkibar megah. Apakah ini tanda nasionalisme yang memudar? Mungkin tidak. Bisa jadi, ini adalah cermin dari cara baru generasi muda mengekspresikan harapan dan perlawanan mereka. Sementara Merah Putih hadir dalam bentuk yang formal dan sakral, simbol fiksi justru menawarkan emosi, cerita, dan mimpi yang terasa lebih dekat.
Saya percaya, generasi muda tidak kekurangan cinta pada tanah air. Mereka hanya mencari bentuk baru untuk menyampaikan rasa, cita, dan aspirasi. Bendera bajak laut itu mungkin tampak remeh, tetapi di baliknya ada narasi tentang solidaritas, kebebasan, dan impian akan hidup yang lebih adil—persis seperti yang dulu diperjuangkan para pendiri bangsa.
Alinea keempat Pembukaan UUD 1945 selalu mengingatkan kita pada tujuan kemerdekaan: melindungi segenap bangsa, mencerdaskan kehidupan, memajukan kesejahteraan umum, dan berperan dalam perdamaian dunia. Tetapi, benarkah semua anak muda hari ini telah merasakan hasil dari cita-cita luhur itu?
Di ruang kelas pelosok, dapur rakyat kecil, dan desa-desa perbatasan, masih banyak yang belum benar-benar merdeka. Mereka tetap berjuang dalam sunyi—para guru, tenaga kesehatan, ASN, prajurit penjaga tapal batas, petugas pemadam kebakaran, serta relawan dan aktivis lingkungan yang merawat negeri dari pinggiran. Menjaga hutan, danau, sungai, hingga laut. Mereka hidup dengan fasilitas minim, bahkan kadang terlupakan.
Para atlet pun serupa. Mereka berjuang mengibarkan Merah Putih di pentas dunia, tetapi sering telantar di masa tua—saat tubuh tak lagi kuat, dan tepuk tangan perlahan menghilang.
Nasionalisme bukan sekadar bendera atau lagu kebangsaan. Ia tumbuh dari rasa memiliki dan dimiliki. Ketika negara hadir menyapa, mendengar, dan melindungi, di sanalah makna Merah Putih benar-benar hidup.
Mungkin bukan Luffy yang salah. Mungkin kitalah yang lupa menjadikan Merah Putih selalu relevan dan membumi. Generasi muda sedang bicara dalam bahasa mereka sendiri—dan tugas kita bukan menertawakan atau menghakimi, tetapi memahami dan menjembatani.
Nasionalisme tidak mati. Ia hanya sedang mencari bentuk baru. Dan tugas kita adalah memastikan Merah Putih tetap menyala—bukan hanya di tiang bendera, tetapi di hati mereka yang akan mewarisi bangsa ini.*