Adil yang Retak di Tengah Bangsa Dermawan

Oleh M. Hermayani Putera

Avatar
Ilustrasi. Dok. Magic Space

ADIL adalah kata sederhana, tetapi memikul beban sejarah yang besar. Dua kali ia muncul dalam Pancasila—“Kemanusiaan yang adil dan beradab” serta “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Bukan kebetulan, melainkan pesan bahwa tanpa keadilan, persatuan bangsa rapuh, pembangunan kehilangan ruh, dan republik bisa retak oleh curiga serta luka.

Namun, di negeri yang dicatat sebagai bangsa paling dermawan di dunia, keadilan justru kerap terasa jauh. Charities Aid Foundation (CAF) dalam laporan World Giving Index 2022 menempatkan Indonesia di peringkat pertama selama lima tahun berturut-turut (CAF, 2022). Artinya, gotong royong, empati, dan kemurahan hati masih menjadi denyut nadi rakyat dan modal sosial luar biasa bangsa ini.

Kedermawanan ini kontras dengan realitas: ketimpangan sosial-ekonomi tetap menganga. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, rasio gini Indonesia pada September 2024 sebesar 0,381—turun tipis dari tahun sebelumnya, tetapi tetap menandakan distribusi kekayaan belum merata (BPS, 2024).

Di perkotaan, ketimpangan lebih tajam (0,402) dibandingkan perdesaan (0,308). Bank Dunia pun mengingatkan, 20 persen penduduk terkaya menguasai hampir separuh total pengeluaran nasional, sementara 40 persen penduduk terbawah hanya menikmati kurang dari 20 persen (World Bank, 2023).

Inilah paradoks besar bangsa: dermawan secara personal, tetapi tidak adil secara struktural. Rakyat memberi dengan tangan terbuka. Namun sistem kerap menutup akses bagi banyak orang untuk sejahtera.

Akibatnya, jurang kaya-miskin tidak menyempit, melainkan terus terasa dalam kehidupan sehari-hari—dari perbedaan kualitas sekolah, layanan kesehatan, hingga kesempatan kerja antarwilayah.

Ketidakadilan adalah bom waktu. Ia bukan sekadar angka statistik, tetapi bara yang bisa memicu konflik sosial.

Sejarah sudah memberi peringatan: kerusuhan Mei 1998 akibat krisis ekonomi, gesekan antarkelompok di berbagai daerah, hingga polarisasi politik yang membelah masyarakat ke dalam kubu-kubu saling curiga dan merusak rasa kebersamaan—semuanya lahir dari rasa diperlakukan tidak adil. Jika dibiarkan, ketidakadilan tidak hanya mengikis persaudaraan, tetapi berpotensi menimbulkan disintegrasi bangsa.

Adil sejatinya bukan sekadar jargon hukum atau kebijakan. Ia adalah fondasi kehidupan bersama: menempatkan sesuatu pada tempatnya, memberi hak kepada yang berhak, melindungi yang lemah, dan tidak menzalimi yang berbeda. Ketika keadilan absen, rakyat mudah kehilangan kepercayaan pada negara. Dari situlah lahir apatisme, kekecewaan, bahkan perlawanan.

Kita patut bersyukur dengan capaian pembangunan: infrastruktur tumbuh, teknologi makin maju, ekonomi bertahan di tengah krisis global. Namun semua pencapaian itu bisa runtuh bila tidak disertai distribusi yang adil.

Jalan tol, pelabuhan besar, dan gedung megah tak akan berarti jika di sudut kampung masih banyak anak kesulitan sekolah, petani terjebak harga panen rendah, nelayan terdesak modal, atau buruh tidak mendapat upah layak.

Dalam keseharian, ketidakadilan menjelma dalam bentuk sederhana: akses kesehatan yang timpang antara kota dan desa, kesempatan kerja yang menumpuk di Jawa tetapi terbatas di luar Jawa, suara kelompok minoritas yang diabaikan, hingga pelayanan publik yang lebih ramah kepada yang berpunya. Jika dibiarkan, ketidakadilan sosial-ekonomi akan memperlebar jurang antarwarga, melahirkan kecemburuan, bahkan permusuhan.

Hari ini, bangsa kita dihadapkan pada pilihan: membiarkan keadilan tetap retak, atau memperbaikinya dengan kesungguhan. Negara memiliki tanggung jawab besar: memperbaiki sistem pajak agar lebih progresif, menata ulang subsidi agar tepat sasaran, memperkuat jaring pengaman sosial, serta memastikan pembangunan benar-benar merata.

Organisation for Economic Co-operation and Development/OECD atau Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi dalam laporan Economic Policy Reforms 2023 menekankan pentingnya reformasi struktural untuk memperkuat pertumbuhan ekonomi jangka panjang yang inklusif dan berkelanjutan. Namun tanggung jawab ini tidak hanya di pundak pemerintah.

Kita semua, sebagai warga, bisa mulai dari lingkar terkecil. Adil dalam keluarga: mendengar anak yang lemah suaranya, tidak membeda-bedakan kasih sayang. Adil di lingkungan tempat tinggal: memberi ruang bagi yang tak bersuara, menjaga batas tanpa membangun tembok, dan hadir dalam musyawarah tanpa menguasai. Adil di tempat kerja: memberi ruang setara bagi rekan perempuan, difabel, atau yang berbeda latar belakang. Adil dalam pertemanan: tidak menghakimi berdasarkan suku, agama, atau pilihan politik.

Sebagaimana pesan Bung Hatta: “Negara ini bukan untuk satu golongan, tetapi untuk semua” (Hatta, 1945). Maka keadilan harus kita jaga bersama—agar kedermawanan bangsa ini tidak hanya tercatat di laporan dunia, tetapi benar-benar dirasakan di tanah air sendiri.

Adil adalah cermin nurani bangsa. Bila ia retak, bangsa pun rawan. Tetapi bila kita berani merawatnya, keadilan bisa menjadi cahaya yang mempersatukan. Mari mulai dari diri sendiri, dari rumah, dari lingkungan terdekat. Karena keadilan yang hidup dalam keseharian akan menjadi benteng yang menjaga republik tetap tegak dan utuh.*

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *